Layaknya sebuah daerah pesisir, Cirebon pun memiliki pelabuhan. Namun pelabuhan Cirebon (Tjirebon atau Cheribon), dulunya adalah sebuah pelabuhan nelayan tradisional yang mulai berkembang menjadi pelabuhan niaga pada abad ke-14, menjelang berdirinya kerajaan Cirebon.

Pada tahun 1415, armada Cina yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho dan Kun Wei Ping berlabuh di Muara Jati (Pelabuhan Cirebon sekarang).  Dalam Kitab Caruban Purwaka Nagari (KCPN) dijelaskan armada Cina transit di Muara Jati untuk membeli perbekalan, baik air bersih maupun pangan dalam perjalanannya ke Majapahit.

Para tokoh sepuh Cirebon berhasil membangun kerja sama dengan Te Ho dalam pembuatan mercusuar. Mercusuar tersebut merupakan sarana penting dari sebuah pelabuhan sebagai tanda bagi kapal-kapal yang akan berlabuh di malam hari.

Sejarah Pelabuhan Niaga Cirebon

Setelah kedatangan armada Cina dan pembangunan mercusuar, pelabuhan Muara Jati, Cirebon menjadi ramai. Banyak pedagang berjual beli dan berlabuh di pelabuhan. Mereka diantaranya terdiri dari orang Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, dan Palembang.

Oleh karena itu, Cirebon pun memiliki beragam corak budaya sebagai akibat hadirnya para pendatang. Budaya Cina dan Arab juga melengkapi kebudayaan masyarakat Cirebon sebagaimana sebuah daerah pesisir lainnya.

Hal itu tercermin dari lambang naga yang menjadi khas kebudayaan Cina yang terdapat pada kereta pusaka, motif hiasan panji, dan batik yang bermotif mega. Arsitektur bangunan masjid dan gapura mendapat pengaruh dari perpaduan agama Hindu dan Islam.

Dengan ditemukannya jalur sutera laut, mulai muncul pelabuhan-pelabuhan baru sebagai pusat-pusat perdagangan yang membentang dari Cina hingga Eropa. Begitu juga dengan Cirebon, karena letak geografisnya di daerah pesisir, maka termasuk jalur perdagangan Nusantara. Kedatangan kapal-kapal asing ke pelabuhan Muara Jati memperjelas keberadaan Cirebon dalam jalur perdagangan internasional.

Daerah pedalaman yang mengelilingi Cirebon merupakan wilayah penyangga dengan tanah subur yang menghasilkan produksi pertanian dalam jumlah besar, seperti sayur mayur, buah-buahan, macam-macam daging, serta padi. Dari produksi pertanian yang berasal dari daerah pedalaman ini, Cirebon menjadi pelabuhan yang ramai.

Adanya jaringan darat yang menghubungkan pelabuhan dengan daerah pedalaman juga menjadi faktor penting. Luasnya jaringan darat itu masih ditambah dengan adanya jalur transportasi sungai yang menghubungkan pusat-pusat ekonomi yang telah mendorong para petani, pedagang, dan pengrajin untuk meningkatkan aktivitas mereka.

Dalam naskah Kertabumi dijelaskan bahwa barang-barang dagangan ekspor berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati mempunyai daya tukar yang tinggi sehingga menjadi komoditi andalan bagi Cirebon. Sedangkan komoditi impornya berupa logam besi, perak, emas, sutra, dan keramik halus.

Kota Cirebon mengalami perkembangan pesat saat kemunculan tokoh besar Syarif Hidayatullah atau biasa disebut Sunan Gunung Jati (1470 M), cucu dari raja Siliwangi dari Padjadjaran dan menantu Walangsungsang, seorang syahbandar Muara Jati. Di bawah kepemimpinannya, Cirebon yang sudah masuk Islam memutuskan hubungan dengan Kerajaan Galuh yang masih Hindu. Dengan begitu, berdirilah kerajaan Islam Cirebon yang bercorak maritim.

Agar pelabuhan Cirebon dapat berfungsi secara maksimal, Sunan Gunung Jati melakukan perbaikan pada berbagai bangunan yang menunjang aktivitas perdagangan dan pelayaran. Disamping itu juga, dibangun semacam perbengkelan, baik untuk membuat atau memperbaiki perahu-perahu ukuran besar yang mengalami kerusakan. Dengan demikian, pelabuhan itu bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh pedagang pribumi atau pedagang asing yang sudah banyak bertempat tinggal di sekitar pelabuhan.

Sebelum pedukuhan-pedukuhan di Cirebon dan Indramayu bermunculan, terdapat tiga pelabuhan penting yaitu Pelabuhan Japura (Losari), Muara Jati (Cirebon), dan Cimanuk (Indramayu). Pelabuhan Japura yang dikepalai oleh Lebe Usa sudah ramai dikunjungi para pedagang sebelum Dukuh Losari berdiri.

Sebelum Desa Kebon Pesisir didirikan oleh Walangsungsang, pelabuhan Muara Jati yang dipimpin oleh Jumajan Jati juga sudah mencapai kemapanannya. Demikian pula dengan Pelabuhan Cimanuk, lebih awal dipadati para pengunjung dari mancanegara sebelum Arya Wiralodra mendirikan Pedukuhan Cimanuk (sekarang Indramayu), termasuk Desa Babadan.

Ki Gedeng Jumajan Jati adalah seorang juru labuhan yang berperan penting dalam proses pembangunan Pelabuhan Muara Jati. Projek besarnya yang terkenal adalah pembangunan mercusuar yang dikerjakan oleh orang-orang asal Majapahit. Sebagai upahnya, para pekerja diberi aneka rempah, diangkut ke Majapahit dengan menggunakan perahu hingga penuh.

Pengembangan Pelabuhan Cirebon

Setelah melewati masa keemasannya, pelabuhan ini dibangun kembali pada 1865 oleh pemerintahan kolonial Belanda serta diperluas dengan pembangunan kolam pelabuhan dan pergudangan. Ketika itu Pelabuhan Cirebon masih berada dalam struktur organisasi Pelabuhan Semarang.

Kemudian sejak tahun 1957 berada di bawah Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Seiring dengan perkembangan, sejak 1983 pelabuhan ini menjadi salah satu cabang pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) yang berkantor pusat di Jakarta.

Rencana untuk mengembangkan pelabuhan Cirebon menjadi pelabuhan yang maju dan modern yang terangkum dalam Rencana Induk Pelabuhan (RIP). Mengingat, pelabuhan Cirebon adalah pelabuhan besar yang sudah selayaknya diberikan porsi sesuai kapasitasnya, bukan hanya dijadikan museum sejarah atau heritage semata. Baca tentang Pelabuhan Karangantu Sisa Kejayaan Banten Lama

Beberapa tahapan pengembangan pelabuhan, diantaranya adalah reklamasi dan membangun dermaga serta membangun jalur kereta api yang terintegrasi dengan pengangkutan barang. Kemudian membangun terminal penumpang, yang kemudian dilanjutkan dengan membangun pelabuhan yang menjorok ke tengah laut.

Referensi Sejarah Pelabuhan Cirebon

Catatan tradisional yang memberitakan situasi Pelabuhan Cirebon pada abad ke-15 disebutkan dalam beberapa naskah, antara lain Negarakertabhumi (Atja dan Ayatrohaedi, 1984), Purwaka Caruban Nagari (Atja, 1972), dan Cariyos Walangsungsang/Babad Cirebon (Nurhata, 2013).

Ketiga naskah tersebut di atas memiliki keterkaitan erat. Naskah Negarakertabhumi adalah karya ‘Panitia Wangsakerta’. Naskah Purwaka Caruban Nagari yang dikarang oleh Pangeran Arya Carbon bersumber dari Negarakertabhumi. Sementara itu, untuk naskah Babad Cirebon, yang memiliki berbagai macam judul (sedikitnya delapan judul), bersumber dari Purwaka Caruban Nagari dan Negarakertabhumi.

Hanya melalui naskah-naskah babad seperti itu identifikasi atas pelabuhan Cirebon pada masa silam dapat ditelusuri dengan mudah. Persoalannya, naskah-naskah tersebut turunan dari naskah karya ‘Panitia Wangsakerta’ yang hingga kini masih polemik.

Tanpa bantuan catatan tradisional, usaha mengungkap situasi Cirebon secara umum, atau peran pelabuhan pada khususnya, akan mengalami kesulitan. Berita tentang pelabuhan-pelabuhan Cirebon dari para penjelajah, seperti dalam catatan Tome Pires Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins yang telah diterjemahkan oleh Cartesão pada tahun 1944, sangat terbatas.

 

Sejarah Pelabuhan Cirebon

Topik: #pelabuhan #sejarah