Tsunami adalah istilah yang banyak digunakan untuk menggambarkan gelombang lautan yang sangat besar yang dihasilkan oleh perubahan vertikal massa air dan diakibatkan oleh gangguan massa air di laut dalam secara tiba-tiba (NERC, 2000; Abbott, 2004).

Istilah Tsunami berasal dari dua kata yaitu tsu yang artinya ‘pelabuhan’ dan nami yang artinya ‘gelombang’. Kata tsunami, dalam bahasa Jepang, diartikan sebagai ‘gelombang pelabuhan’ karena dapat menghasilkan gelombang besar di pelabuhan dan badan air yang tertutup.

Tsunami juga sering dialihbahasakan sebagai gelombang pasang yang dipadankan dengan “tidal wave” atau gelombang seismik laut meskipun istilah tersebut tidak tepat mengingat tsunami tidak ada hubungannya dengan pasang surut (Kusky, 2003; Femando er al., 2008).

Bencana yang ditimbulkan oleh tsunami merupakan bencana sekunder akibat gempa bumi yang berpusat di dasar laut. Bencana terjadi karena hempasan dan dorongan massa air yang mempunyai kecepatan dan volume yang besar.

Tsunami di Flores pada Desember 1992 telah menyebabkan 1.952 orang di Maumere meninggal dan 2/3 penduduk Pulau Babi hilang karena gelombang setinggi 26,2 meter. Tsunami di pesisir Kabupaten Banyuwangi pada Juni 1994 setinggi 13,2 meter merusak ribuan rumah dan menewaskan 38 orang. Tsunami yang menyebabkan korban jiwa terbesar adalah tsunami di NAD dan tsunami akibat letusan Gunung Krakatau.

Indonesia termasuk rawan bencana tsunami karena terletak di suatu kawasan yang merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia. Ketiga lempeng tektonik tersebut adalah Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo Australia yang bergerak relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Sebagai konsekuensi dari letaknya pada pertemuan antara ketiga lempeng tersebut, Indonesia tidak hanya kaya akan potensi sumber daya alam, tetapi juga merupakan daerah tektonik yang sangat labil di dunia dan juga pinggiran benua yang sangat aktif. Lebih jauh lagi, dinyatakan bahwa posisi Indonesia di The Pacific Ring of Fire (Rangkaian Busur Api Pasifik) mengakibatkan Indonesia memiliki jumlah gempa bumi yang cukup tinggi di dunia.

Timbulnya Tsunami

Pada umumnya, tsunami ditimbulkan oleh gempa bumi yang pusatnya di dasar laut di lepas pantai ataupun dekat dengan pantai. Ketika terjadi gempa di lautan, air laut akan berubah dari kondisi kesetimbangan dan berusaha untuk mencapai kondisi kesetimbangan tersebut. Jumlah gelombang yang dihasilkan dapat bervariasi dan bergantung pada keadaan gempa bumi yang terjadi.

Ketika gelombang tersebut merambat, gelombang itu berubah ukurannya menjadi dua kali ukuran gelombang semula, bahkan menjadi lebih besar (Heitner, 1969; Fernando et al., 2008). Terlebih lagi, tsunami yang dipicu oleh gempa bumi dapat menghasilkan pergerakan dasar samudera atau longsor yang menyebar ke wilayah kepesisiran dan kemungkinan mengakibatkan kematian (Heitner, 1969; Mardiatno, 2008).

Ada beberapa contoh gempa yang memicu tsunami dan sebagian besar dari peristiwa tersebut terjadi di Pacific Rim dan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kejadian gempa bumi di Pacific Rim dan Indonesia menggambarkan kejadian semua tsunami dalam sejarah karena posisinya di Circum-Pacific atau Ring of F ire (NERC, 2000).

Penyebab kedua timbulnya tsunami ialah letusan gunung api yang berasosiasi dengan runtuhnya lereng vulkanik (volcanic slopes), luncuran material (debris), dan aliran debu yang menggantikan bagian besar massa air di atas gunung api. Meskipun letusan gunung api jarang menimbulkan tsunami yang besar, letusan tersebut dapat. menghasilkan tsunami yang sangat merusak (Bryant, 2008).

Krakatau merupakan contoh letusan yang sangat dahsyat dan menimbulkan tsunami pada 27 Agustus 1883. Gelombang tsunami yang ditimbulkannya mencapai 35 meter dan menewaskan lebih dari 36.000 orang. Kecepatan gelombang tsunami dapat mencapai 725 km/jam di lautan lepas serta mampu membinasakan bangunan dan melemparkan kapal laut sejauh 2 km dari pantai Banten.

Pengaruh letusan Krakatau dapat dirasakan di London 10 jam 21 menit kemudian (NERC, 2000.; Kusky, 2003). Sementara itu, letusan Tambora pada tahun 1815 hanya mengakibatkan tsunami lokal dengan ketinggian gelombang 2-4 meter karena gunung api terletak 15 km di darat (Bryant, 2008).

Longsor pada dasar laut yang menggantikan bagian besar massa air juga dapat memicu tsunami. Dalam hal ini, ada dua mekanisme penyebab tsunami yang dikenal. Pertama ialah perpindahan materi dasar laut dari satu tempat ke tempat lain yang menghasilkan aliran air yang berkebalikan.

Mekanisme kedua adalah longsor yang memasuki perairan laut yang kemudian mendorong massa air secara lateral dan menghasilkan aliran yang berkebalikan setelah longsor tersebut benar-benar tenggelam (NERC, 2000).

Kusky (2003) menerangkan bahwa beberapa longsor di dasar laut disebabkan oleh gempa bumi. Lebih jauh lagi, dinyatakan bahwa longsor di sepanjang continental slope yang menjadi sisi sebagian besar garis pantai juga menjadi sumber terjadinya tsunami yang dihasilkan oleh gempa bawah laut (Bryant, 2008). Tsunami dengan tinggi 1.720 kaki di Teluk Lituya, Alaska merupakan tsunami luar biasa yang disebabkan oleh longsor (Kusky, 2003).

Hal lain yang merupakan pemicu tsunami ialah meteor yang jatuh ke laut. Meskipun belum ada data historis mengenai kejadian tersebut, hal ini bukan berarti peristiwa tersebut bukan bencana yang menghancurkan (Kusky2003; Bryant 2008). Konsep mengenai tsunami yang dihasilkan sebagai dampak objek yang besar tersebut masih perlu diteliti lebih jauh (NERC,2000).

 Perambatan Gelombang Tsunami

Gelombang tsunami memiliki karakteristik yang berbeda dari gelombang pendek di lautan yang dibangkitkan oleh angin di perairan yang dalam (Gambar 5.1). Kedua gelombang tersebut (gelombang tsunami dan gelombang yang dibangkitkan angin) berbeda dalam hal panjang gelombang, periode, kecepatan, dan amplitudo.

Panjang gelombang adalah jarak antara puncak gelombang yang berurutan, sedangkan periode adalah waktu yang dibutuhkan oleh dua puncak gelombang berurutan untuk melewati titik tertentu. Lebih jauh lagi, dinyatakan bahwa tsunami merupakan gerak massa air laut, mulai dari dasar hingga permukaan.

Pada perairan dalam, tinggi gelombang hanya mencapai 0,6 meter hingga 2 meter. Dengan kecepatan 725 km, gelombang ini tidak dapat dirasakan oleh kapal yang berlayar pada laut dalam. Panjang gelombang tsunami mempunyai kisaran yang besar, yaitu antara 100 km hingga 200 km dengan periode 10 hingga 20 menit. Kecepatan gelombang tsunami sangat mudah berubah jika terjadi benturan dengan dasar laut. Penurunan kecepatan dapat sangat cepat, demikian pula dengan tenaganya.

Tsunami juga disebut sebagai gelombang perairan dangkal. Hal ini dinyatakan apabila kedalaman air lebih kecil dari 1/20 kali panjang gelombang. Kecepatan gelombang tsunami adalah c=. Dalam hal ini, c: kecepatan, g : gaya gravitasi, dan h : kedalaman.

Kecepatan air pada gelombang tsunami pada bagian bawah hampir sama dengan kecepatan di permukaan. Gerak air pada permukaan berbentuk elips dengan garis tengah terpanjang mencapai 1 km, ketinggian gelombang terjadi apabila bagian bawah membentur dasar laut. Kecepatan air yang tinggi mendorong massa air ke arah darat dengan cepat karena bagian depan gelombang tsunami kehilangan kecepatan dan tenaga sehingga dorongan massa air menimbulkan kenaikan massa air dengan cepat (Gambar 5.2)

Sebagai contoh, jika gravitasi bumi ada 10 meter/detik, kedalaman air 4000 meter, maka kecepatan gelombang tsunami c= yaitu 200 meter/detik dan setara dengan 720 km/jam. Apabila gelombang tsunami mencapai laut dangkal, kecepatan bagian bawah akan melambat dengan cepat sehingga massa air akan terdorong ke depan membentuk gelombang yang tinggi.

Penyebab dan Proses Terjadinya Gelombang Tsunami

Energi dan Magnitudo Gelombang Tsunami

Seperti halnya gempa bumi, tsunami juga dapat dinyatakan dengan skala magnitudo. Magnitude tsunami menunjukkan tinggi dan rendahnya gelombang tsunami dan energi yang ditimbulkannya. Magnitudo tsunami ini dinyatakan dalam skala Imamura (Diposaptono dan Budiman, 2006).

Hubungan empiris antara magnitudo tsunami dan magnitudo gempa yang menimbulkannya diturunkan oleh Iida (1963) dalam Diposaptono dan Budiman (2006), sebagai berikut:

m = 2.61 M—16.44

Di mana M adalah magnitudo gempa dalam skala Richter dan m adalah magnitudo tsunami dalam skala Immamura.

Magnitudo Gelombang Tsunami

Tanda-Tanda Bencana Tsunami

Secara kasatmata, kejadian tsunami ditandai oleh terjadinya surut air laut secara cepat dan tiba-tiba karena massa air di pantai tertarik ke arah laut. Ini adalah saat yang paling membahayakan karena sebagian besar masyarakat yang tidak mengerti akan tanda-tanda tsunami biasanya akan mendekati pantai karena tertarik melihat pemandangan dasar laut yang tersingkap atau pun menangkap ikan dan biota-biota laut lainnya.

Tanda lain ialah adanya suara dentuman. Suara ini adalah suara tumbukan massa air yang teresonansi. Seharusnya, jika terjadi kondisi yang disebutkan di atas, masyarakat segera menjauhi pantai dan mencari tempat yang lebih tinggi.

Referensi:

  • Subandono Diposaptono dan Budiman.2006. Tsunami . Penerbit Buku Ilmiah Populer, Bogor
  • SunartoMarfai Muh ArisMardiatno Djati . 2018. Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah Kepesisiran Parangtritis. UGM PRESS.

 

Bencana Alam Tsunami

Topik: #bencana #lingkungan #pengertian