Ketika berbagai bencana alam sedang mendera Indonesia dan membuat seluruh masyarakat berduka, apakah pengembangan diri masih tetap diperlukan? Ternyata pengembangan diri justru bisa menjadi salah satu jendela yang membuka cakrawala baru menuju perbaikan Indonesia. Bagaimana mungkin?

Analogikan begini, jika seseorang bertanya kepada Anda, “Apakah yang ingin Anda raih dalam kehidupan ini?” Mungkin berbagai macam jawaban akan diperoleh. Untuk sebagian orang, meraih hidup yang tenang dan bahagia sudah lebih dari cukup – mereka lebih suka menerima apa yang harus diterima tanpa berusaha meningkatkan derajat kehidupan mereka menjadi lebih tinggi lagi.

Namun untuk beberapa orang – yang sampai saat ini masih termasuk golongan orang-orang minoritas – hanya sekedar menerima saja apa yang harus diterima tidaklah cukup. Orang-orang minoritas ini percaya bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kemuliaan diri (disamping juga kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan diri yang sesungguhnya bisa dioptimalkan dan dijadikan kelebihan untuk konteks tertentu), yang disebut dengan akal dan kesadaran, yang membedakan derajatnya dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.

Dengan akal dan kesadaran ini, kaum minoritas tersebut berusaha menggali potensi diri yang dimiliki dengan semaksimal mungkin, kemudian mengasah kemampuan diri mereka untuk dapat mencerna dan meraih segala macam momentum yang terkandung dalam setiap peluang yang ada dalam kehidupan, serta menciptakan peluang-peluang tersebut menjadi kesempatan yang diciptakan sendiri menjadi ‘ada’ dan berprospek potensial. Jika golongan minoritas ini mampu, mengapa kita – Anda – tidak?

Potensi diri merupakan kemampuan dan kekuatan dari dalam diri seseorang, baik itu yang belum terwujud maupun telah terwujud,  namun belum sepenuhnya dipergunakan atau terlihat secara maksimal oleh orang tersebut.

Kaum Minoritas vs Kaum Mayoritas

Mungkin apa yang disampaikan di atas hanya sebuah analogi sepihak yang sangat tendensius. Tapi kenyataan tersebut nampak begitu jelas terjadi – terutama saat persaingan terbuka timbul dan semakin ketat ketika dunia menuju era globalisasi.

Pasar bebas dengan segala kemungkinan dan celah untuk sukses bukan menjadikan ‘kaum’ minoritas melebarkan sayapnya dan menjadi ‘kaum’ mayoritas, melainkan menyurutkan orang-orang yang tergabung di dalamnya. Kebanyakan dari mereka takut gagal. Ada juga yang merasa tidak percaya pada kemampuan dan potensi diri sendiri dan memilih menjadi penonton di luar arena saja. Lalu muncul pertanyaan, siapakah sesungguhnya kaum minoritas ini?

Dari berjuta-juta rakyat Indonesia, mungkin anda dapat menyebutkan bahwa hanya sekitar 5%-10 % dari mereka yang mampu untuk melihat peluang (bisnis) sebagai celah sekaligus juga kesempatan. Golongan 5%-10% inilah yang saya sebut sebagai kaum minoritas – yaitu mereka yang mampu untuk memotivasi diri dalam menggali potensi yang dimiliki semaksimal mungkin, untuk mencapai kesuksesan yang juga maksimal. Sementara sisanya – yang diistilahkan oleh saya sebagai kaum mayoritas – adalah mereka yang belum – bukan tidak, karena saya yakin suatu saat mereka akan menjadi – mampu menggali potensi diri mereka untuk meraih segala peluang yang ada dalam kehidupan.

Kaum mayoritas ini lebih suka bekerja dan menjalani kehidupan melalui cara-cara aman – dalam artian asal sudah bekerja sudah cukup, asal memperoleh pendapatan sudah cukup, asal tidak gagal berarti semua sudah terkendali dan sukses – tapi tidak ada keinginan untuk mencapai kesuksesan yang lebih tinggi lagi. Alasan dan pertimbangan semacam itu memang tidak sepenuhnya bisa disalahkan, namun jika memang demikian, jika kita memilih untuk menjadi mayoritas, maka kita hanya akan menjadi orang kebanyakan yang biasa-biasa saja tanpa mengembangkan potensi diri untuk menjadi istimewa yang sejak lahir sesungguhnya telah disematkan dalam setiap jiwa manusia.

Untuk beberapa orang, kesuksesan dianggap sebagai sesuatu yang tergantung pada keberuntungan. Namun tidak begitu menurut Thomas Alva Edison; menurutnya, keberhasilan seseorang adalah 1% keberuntungan dan 99% usaha. Lalu usaha yang bagaimana yang memungkinkan seseorang untuk berhasil dan sukses?

Self-Actualizaon: Potensi Diri Alamiah vs Materi.

Abraham Maslow, sosiolog yang terkenal, menyatakan bahwa dari beberapa kebutuhan dasar manusia, salah satu kebutuhan yang berkaitan dengan harga diri dan kebanggaan seseorang ditunjukkan dalam selfactualization atau kebutuhan akan pemenuhan diri. Kita bukan saja ingin mempertahankan kehidupan, tetapi juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan dan juga ingin memaksimalkan potensi-potensi diri. Dengan ucapan Maslow sendiri – what a man can be, he must be – kebutuhan akan pemenuhan diri dapat dilakukan melalui berbagai bentuk, antara lain:

  1. mengembangkan dan menggunakan potensi-potensi diri dengan cara yang kreatif konstruktif, misalnya: melalui seni, musik, sains, atau hal-hal yang mendorong pengungkapan diri yang kreatif;
  2. memperkaya kualitas kehidupan dengan cara memperluas rentangan dan kualitas pengalaman serta pemuasan, misalnya dengan jalan darmawisata ke tempat-tempat yang memiliki nilai historis atau budaya (di satu sisi kita memperoleh relaksasi dan pada sisi lain kita mendapatkan pengetahuan);
  3. membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang lain di sekitar kita (yang lebih jauh lagi dapat mendukung kemungkinan kita untuk menciptakan dan memperluas hubungan dan jaringan kerja di kemudian hari);
  4. berusaha ‘memanusia’, menjadi persona – diri – yang kita dambakan (yang berkaitan erat dengan konsep diri – bagaimana kita memandang diri kita sendiri) (Coleman, 1976:105).

Ada kecenderungan yang tampak dewasa ini; yaitu, pengembangan motivasi menjadi sesuatu yang mahal harganya dan harus selalu didukung oleh adanya kemampuan materi. Sesungguhnya, materi hanya menjadi faktor kedua setelah potensi diri yang dimiliki sendiri. Mengapa demikian? Seseorang yang kaya raya, namun tidak memiliki kemauan untuk menggali – mengeksplorasi – potensi diri yang dimilikinya semaksimal mungkin sama saja seperti nyala api yang kecil dan lemah, yang tidak mungkin sanggup bertahan bila tertiup oleh angin.

Namun seseorang yang tahu bagaimana mengeksplorasi potensi dirinya hingga kemudian menumbuhkan motivasi untuk maju dan lebih maju lagi – didukung dengan atau tanpa kemampuan materi – akan sanggup bertahan sekalipun angin besar menghempas dirinya. Bukankah ilmu pengetahuan dan akal menjadi senjata dan harta yang abadi dan potensial dalam diri setiap manusia? Dengan kata lain, untuk maju, seseorang harus percaya pada kemampuan dirinya sendiri. Tentu saja, kemampuan harus didukung oleh faktor lain, yaitu kemauan.

Kemauan: dari sesuatu yang abstrak menjadi nyata.

Kemauan jarang dibicarakan secara khusus dalam buku-buku pengantar psikologi; walaupun orang sering menggunakan istilah ‘kuat kemauan’ atau ‘kurang kemauan’. Kemauanlah yang membuat orang besar atau kecil. Kemauan erat kaitannya dengan tindakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.

Dalam kemauan, bila dirangkum dari pernyataan Richard Dewey dan W.J. Humber, terkandung keinginan untuk mencapai suatu tujuan, pengetahuan tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan, kecerdasan dan energi yang mempengaruhi usaha, pengeluaran energi yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan, serta kejelian.

Seseorang yang jeli adalah seseorang yang – setelah mampu mengeksplorasi potensi dalam dirinya – tanggap terhadap segala peluang yang muncul dalam berbagai bidang dan menjadikannya sebagai kesempatan yang seolah-olah memang diciptakan hanya bagi dirinya sendiri. Kejelian terhadap peluang tersebut harus didukung pula oleh adanya kemampuan untuk menganalisis kekuatan dan kebutuhan pasar bisnis – sektor laba maupun sektor nirlaba.

Seseorang yang tahu peluang dalam bisnis yang berorientasi laba, dapat meramalkan apa yang akan dibutuhkan oleh masyarakat dan apa yang harus diciptakan untuk menumbuhkan adanya rasa butuh dalam diri masyarakat. Mereka tahu dan kenal aroma persaingan – namun mereka tidak takut gagal karena mereka yakin setelah satu kesempatan gagal, akan selalu ada kesempatan yang lain.

Seseorang yang jeli akan peluang dalam bisnis yang bergerak dalam sektor nirlaba – sekalipun orientasinya bukan dititikberatkan pada perolehan omzet/pendapatan – namun karena ia tahu peluang, maka ia dapat membalikkan peluang yang ada menjadi kesempatan untuk dirinya menciptakan sektor-sektor bisnis berorientasi laba. Karena itu dibutuhkan adanya perhitungan-perhitungan yang tepat dan rasional, didukung adanya insting yang kuat yang semakin terasah hanya dengan cara dilakukan dan digunakan

Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda

Pada akhirnya, setelah seluruh uraian diatas, kita akan mencapai satu kesimpulan bahwa kesuksesan hanya dapat diperoleh bila kita mampu mengeksplorasi potensi diri yang dimiliki dengan semaksimal mungkin dan menggunakannya secara tepat – efektif dan efisien.

Dalam proses penggalian potensi diri dibutuhkan adanya kemauan untuk belajar, kecerdasan dan keikhlasan untuk mengeluarkan energi; baik energi yang sifatnya materi dan atau nonmateri, serta pengembangan motivasi yang didukung adanya kepercayaan terhadap konsep diri. Setelah hal itu sanggup dilakukan, maka dalam diri kita secara sadar ataupun tidak akan muncul satu naluri yang terasah dan peka terhadap berbagai peluang yang timbul dalam dunia bisnis, baik yang berorientasi pada sektor laba maupun sektor nirlaba.

Dengan kejelian sekalipun kemampuan yang ada dalam diri, kita akan sanggup untuk mengejar dan meraih momentum yang ada dalam setiap peluang, menjadikannya kesempatan yang seolah-olah tercipta memang hanya untuk kita – dan meraih kesuksesan yang membawa kita mencapai kebutuhan akan pengaktualisasian diri yang lebih tinggi lagi. J

angan pernah takut untuk gagal, karena kegagalan adalah proses kita menuju pencapaian yang lebih besar lagi. Jangan pernah takut untuk mengubah perspektif kita selama ini, karena memandang segala hal secara lateral memungkinkan kita untuk menemukan solusi terbaik pada perbaikan bukan hanya sekedar alternatif solusi. Jika demikian, tunggu apa lagi, mari eksplorasi diri menuju sukses yang abadi, bukan hanya sekedar dalam benak, ide dan gagasan belaka.

Oleh: Agustina Kusuma Dewi, S.Sos. Dosen di DKV Unpas dan FSRD ITENAS Bandung

 

Eksplorasi Potensi Diri Menuju Sukses – Literasi Publik

Topik: #budaya #motivasi #pengembangan diri