Pada masa Pemerintah Hindia Belanda, untuk menjadi guru formal harus melalui pendidikan keguruan atau yang lebih dikenal dengan nama  Kweekschool. Kweekschool diadakan  untuk memenuhi kebutuhan guru bumiputra bagi sekolah-sekolah yang ada pada waktu itu.

Lulusan Kweekschool mendapat gelar resmi “manteri guru” dengan memberikan mereka kedudukan yang nyata di kalangan pegawai pemerintah lainnya.  Lulusan Kweekschool diberi gaji yang disamakan dengan gaji seorang asisten wedana sebesar f. 50,- hingga f. 150,- per bulan.

Sejarah Kweekschool

Menurut beberapa catatan, yang dianggap Kweekschool didirikan pertama kali pada tahun 1819 oleh Zending (penginjil) dan dibantu VOC di Ambon. Tujuan pendidikan ini untuk membantu mengajar di gereja. Sumber: Sejarah Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool).

Namunmenurut  I. Djumhur dan H. Danasuparta dalam Sejarah Pendidikan disebutkan bahwa Kweekschool  pertama yang didirikan di Hindia Belanda adalah yang diselenggarakan oleh Zending di Ambon pada tahun 1834, untuk memenuhi kebutuhan guru bumiputra bagi sekolah-sekolah yang ada pada waktu itu. Selanjutnya sekolah pendidikan keguruan didirikan di Surakarta (1852), Bukittinggi (Fort de Kock) (1858), Tapanuli (1864), dan Bandung (1866).

Pada tahun 1871 keluar Peraturan Pemerintah yang menyatakan, bahwa pengadaan sekolah dasar bumiputera harus didahului oleh pengadaaan tenaga  gurunya. Atas dasar peraturan  itulah Kweekschool diperbanyak.

Sekolah guru mengalami pasang-surut sehingga  beberapa sekolah guru ditutup dengan alasan penghematan keuangan negara. Kweekschool yang ditutup yaitu yang di Tapanuli pada tahun 1874, Magelang dan Tondano pada tahun 1885, Padang Sidenpuan (1891), Banjarmasin (1893), dan Makassar (1895).

Selain itu, Kweekschool kurang diminati oleh golongan bangsawan, sehingga murid-murid Kweekschool kebanyakan dari keluarga priyayi rendah, pegawai rendah, para pedagang, keluarga mantri atau dari keluarga guru.

Meskipun ada rangsangan gaji besar dan tanda-tanda kehormatan, tetap saja jabatan guru pada perkembangan berikutnya kurang diminati, khususnya oleh para bangsawan.

Jabatan guru yang kurang diminati sebenarnya dapat dilihat dari kedudukan atau status sosial guru-guru bumiputera pada awal abad ke-20. Waktu itu struktur sosial kolonial didasarkan pada perbedaan ras.

Masyarakat Eropa (Belanda) menempati urutan paling atas, sementara pribumi menempati urutan yang paling bawah. Dalam masyarakat pribumi yang sudah menempati urutan paling bawah, ternyata kedudukan seseorang masih juga dibedakan.

Menurut Sartono Kartodirdjo, kedudukan seseorang pada awal abad ke-20 dapat dilihat dari aspek keturunan, pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan.

Dihubungkan dengan guru, maka aspek-aspek itu dapat dipakai untuk menentukan kedudukan sosialnya. Misalnya dari aspek keturunan, mayoritas guru-guru bumiputra berasal dari keluarga biasa, seperti petani, pedagang, mantri, pegawai rendah, dan dari keluarga guru sendiri. Kalaupun ada dari keluarga priyayi, hanyalah priyayi rendahan.

Untuk itu dalam rangka memenuhi keinginan kaum bangsawan dalam mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari Kweekschool, maka pada tahun 1878 pemerintah mendirikan Hoofdenschool yang bertujuan mendidik calon-calon pegawai pemerintah.

Hoofdenschool menurut bahasa sehari-hari disebut “sekolah raja atau sekolah menak”. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu dan Belanda.

Setelah mengalami percobaan dan perubahan pada tahun 1900, sekolah ini diberi nama OSVIA ( Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren = Sekolah untuk Pendidikan Pegawai Bumiputera) yang mengkhususkan pada pendidikan Pangreh Praja dan Jaksa.

Lama pendidikanya lima tahun. Pada tahun 1927 OSVIA direorganisir menjadi MOSVIA (Middelbaar Opleidingschool voor Indische Ambtenaren) dengan lama pendidikannya tiga tahun.

Gaji Guru Pada Masa Hindia Belanda

Dari segi penghasilan (gaji), Departement van Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Agama) sebagai lembaga yang bertanggung jawab menangani gaji guru-guru bumiputra, membuat ketentuan bahwa penghasilan guru-guru berdasarkan atas ijazahnya.

Adapun sekolah-sekolah guru yang ada pada awal abad ke-20 adalah:

  • Normaalschool, yaitu sekolah guru dengan lama pendidikan 4 tahun dan menerima lulusan dari sekolah Vervolg atau Sekolah Kelas II.
  • Hogere Kweekschool (HKS) yaitu sekolah guru dengan lama belajar 3 tahun
  • Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) untuk menggantikan HKS dengan lama pendidikan 6 tahun
  • Hollands Chinese Kweekschool (HCK) yaitu sekolah guru Cina yang sederajat dengan HIK
  • Kursus Hoofdakte.

Untuk lulusan Guru Sekolah Desa, gaji permulaan sebesar f. 7,50 per bulan. Pemerintah Hindia Belanda sendiri menetapkan penghasilan mereka minimal f. 15,- maksimal f. 20-25,- per bulan, hal itu disebabkan mereka bukanlah pegawai pemerintah.

Untuk menutupi kekurangan gaji tersebut dapat diambil dari kas desa, tetapi jika kas tidak mampu membayar dengan uang, dapat diganti dengan tanah bengkok guru desa, yaitu berupa tanah sawah atau tanah garapan dengan luas tertentu.

Normaalschool yang melahirkan guru sekolah kelas dua mendapat gaji sekitar f. 30,- sampai f. 45,- per bulan.

Sementara itu guru-guru lulusan Kweekschool yang biasanya ditempatkan sebagai Kepala Sekolah Kelas Dua, Sekolah Kelas Satu atau guru Sekolah Kelas Satu, menerima gaji sekitar f. 75,- sampai f. 150,- per bulan.

Dibandingkan dengan guru-guru Sekolah Desa, Guru Bantu Kelas Dua dan Normaalschool, lulusan Kweekschool lebih dihargai oleh pemerintah. Hal itu wajar karena kecakapan dan pendidikannya lebih tinggi ditambah dengan kemampuan dalam bahasa Belanda.

Pendapatan gaji untuk jenis guru lainnya, seperti tamatan Hogere Kweekschool (HKS) atau Hollands Inlands Kweekschool (HIK) adalah sebesar f. 70,- sampai f. 250,- per bulan, Europese Kweekschool f. 125,- per bulan, dan tamatan Hoofdacte sebesar f. 130,- per bulan.[17]

Berdasarkan pendapatan atau gaji yang diterima oleh guru-guru bumiputera dan guru-guru yang berkebangsaan Eropa, terlihat gaji guru-guru bumiputra jauh di bawah gaji guru-guru Eropa.

Seorang guru kebangsaan Eropa dapat menerima gaji di atas f. 100,- per bulan, sementara gaji yang diterima seorang guru bumiputra lulusan Kweekschool adalah f. 75,- per bulan.[18]

Perbedaan gaji tidak hanya antara guru-guru bumiputera dan guru-guru berkebangsaan Eropa, tetapi juga di antara guru-guru bumiputera  terdapat  perbedaan.

Sejak tahun 1878, lulusan Kweekschool menerima gaji di atas f. 75,- sampai 150,- per bulan. Guru-guru bantu Sekolah Kelas Dua mendapat gaji sekitar f. 20,- sampai f. 30,- per bulan. Jika disesuaikan dengan kenaikkan harga-harga barang kebutuhan hidup, gaji tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup.

Keadaan itu dijadikan dasar untuk menuntut kenaikkan gaji. Pada tahun 1914 pemerintah menaikkan gaji guru-guru bantu dan gaji guru Sekolah Kelas Dua sebesar f. 5,-, tetapi kenaikkan tersebut belum cukup memuaskan mereka.

Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) Pada Masa Hindia Belanda (1911-1933)

Adanya perbedaan gaji dari masing-masing lulusan sekolah yang ada pada waktu itu, membuat guru-guru bumiputera berusaha untuk memperjuangkan nasibnya. Dwidjosewojo sebagai anggota Pengurus Besar Budi Utomo mulai memikirkan wadah perjuangan para guru dengan membentuk Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada akhir tahun 1911.

Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang anggotanya terdiri dari Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah mendapatkan badan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 18 Desember 1912.

Pada kongres pertamanya di kota Magelang tanggal 12 Februari 1912, terbentuklah kepengurusan besar PGHB. Bersama dengan kongres tersebut dibentuklah perusahaan asuransi jiwa nasional yang pertama, Onderlinge Levensverzekering Maatschappij P.G.H.B., disingkat O.L. Mij.

PGHB yang kemudian hari menjadi Asuransi Jiwa Bumipoetra (AJB Bumipoetra) 1912[24]   sebagai usaha memperjuangkan nasib anggotanya yang terdiri dari berbagai pangkat dan latar belakang pendidikan yang berbeda.

Gagasan Dwidjosewojo untuk mendirikan perusahaan asuransi jiwa telah membuktikan bahwa ia adalah tokoh yang cakap dan berwawasan jauh ke depan. Pada saat Budi Utomo masih bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan, Dwidjosewojo telah melompat ke depan untuk mencoba mengembangkan bidang usaha yang berwawasan sosial ekonomi, bahkan sebelum Sarekat Dagang Islam lahir.[25]

Langkah-langkah yang ditempuh oleh PGHB membentuk O.L. Mij. PGHB itu lebih banyak didorong oleh cita-cita luhur demi kebaikan sesama kaum bumiputera, khususnya para guru yang tergabung dalam PGHB, dan tidak disadari bahwa mereka itu telah memiliki suatu bidang usaha yang kelak berkembang pesat.

Pemerintah Hindia Belanda sendiri memberikan subsidi kepada PGHB untuk O.L. Mij. PGHB sebesar f. 300,- sebulan. Dengan diterimanya subsidi sebesar itu sebulan, keadaan O.L. Mij. PGHB menjadi lebih baik.

Perusahaan Asuransi Boemipoetra yang langsung di bawah pengurusan PGHB dengan tujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan guru sebagai anggota pada akhirnya lepas dari PGHB. Mengenai hal ini penulis belum menemukan data apa yang menyebabkan perusahaan Asuransi Boemipoetra lepas dari organisasi guru (PGHB).

Untuk itu tidak mudah bagi PGHB untuk memperjuangkan nasib anggotanya yang pada waktu itu memiliki latar belakang pendidikan, pangkat, dan status yang berbeda hanya dengan asuransi jiwa. Kondisi sosial dan politik pada waktu itu mempersulit juga terciptanya persatuan di antara guru.

Tujuh tahun kemudian setelah pendiriannya (1919), PGHB pecah[28] dengan bermunculan organisasi-organisasi guru berdasarkan latar belakang pendidikan, pangkat atau tingkat sekolah yang berbeda.

Organisasi-organisasi guru yang lahir itu antara lain Kweekschool Bond (KSB), Perserikatan Guru Desa (PGD),  Perkumpulan Normaalschool (PNS), School Opziener’s Bond (SOB), Vaak Onderwijszer’s Bond (VOB), Perserikatan Guru Ambacht School (PGAS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB), Nederlands Indische Onderwijzers Genootschap (NIOG), Christelijke Onderwijzer’s Vereeniging (COV), Onderwijzer’s Vak Organisatie (OVO), Katholieke Onderwijzer’s Bond (KOB), dan Chineesche Onderwijzer’s Bond (COB).

Perpecahan ini sangat buruk akibatnya bagi guru, antara lain martabat guru menjadi turun dan mereka tidak kompak lagi dalam memperjuangkan statusnya.

Sebagai usaha untuk memperjuangkan nasib anggotanya, PGHB pada tahun 1930-an  mencoba menggabungkan diri pada Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN).

PVPN merupakan perpusatan serikat sekerja pegawai negeri yang sejak pendiriannya berada di luar pengaruh partai-partai politik dan PVPN sendiri tidak mempunyai tujuan politik. Masuknya PGHB menjadi anggota PVPN diharapkan dapat memperjuangkan nasib guru.

Beberapa usaha PVPN itu antara lain pada bulan Desember 1931 mengadakan rapat disertai oleh perkumpulan politik Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, Kaum Betawi, dan Jong Celebes, untuk memprotes rancangan pemerintah yang hendak mengadakan penghematan besar-besaran di lapangan pengajaran, yang berakibat tidak saja guru-guru banyak kehilangan pekerjaan tetapi juga menghambat kemajuan rakyat.

Perkembangan berikutnya PGHB berganti nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1933 sebagai akibat dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai sarekat sekerja pegawai negeri.[33] Pada kongresnya ke-23 di Surabaya tanggal 2-6 Januari 1934, PGI yang telah mempunyai 20.000 anggota membicarakan kedudukan para guru berhubungan dengan krisis dan penghematan gaji pegawai negeri.

Perjuangan PGI itu tidak seluruhnya berjalan mulus, Persatuan Guru Bantu (PGB) pada bulan Juli 1934 mengundurkan diri dari PGI karena dianggap kurang tegas dalam mempertahankan kepentingan golongan Guru Bantu.

PGB menyalahkan sikap PGI dengan diberlakukannya peraturan gaji baru oleh pemerintah yang sangat menjatuhkan kedudukan dan gajinya. Meskipun PGB  mengundurkna diri, perkumpulan guru-guru lainnya tetap bersatu dalam PGI, antara lain PGAS, VOB, Oud Kweekscholieren Bond (OKSB), PNS  dan HKSB.

Kongres PGI ke-25 tanggal 25-29 Nopember 1936 di Madiun, isinya menentang maksud pemerintah untuk memindahkan urusan pengajaran dari tangan pemerintah pusat ke tangan pemerintah daerah, berhubung kurang perlengkapan dan terbatasnya keuangan pemerintah daerah, dan dikhawatirkan dapat berakibat pada kemuduran pengajaran.

Di dalam Kongres PGI ke-26 yang diadakan pada bulan Nopember 1937 di Bandung bertepatan dengan peringatan dua puluh lima tahun berdirinya PGI, dirumuskan supaya diadakan wajib belajar. Selanjutnya di dalam Kongres PGI tahun 1938 yang diselenggarakan di Malang, diputuskan antara lain perlunya perbaikan gaji para guru dan menuntut agar pendidikan dan pengajaran yang diserahkan ke daerah harus didahului dengan perbaikan keuangan daerah.

Demikianlah perkembangan organisasi guru pada zaman kolonial yang berhubungan dengan kehidupan politik bangsa Indonesia. A.K. Pringgodigdo telah memasukan organisasi yang tergabung dalam PGHB dan PGI pada Pergerakan Serikat Sekerja sebagai bagian dari Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Referensi:

  • I.Djumhur dan H. Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu, 1976.
  •  Sumarsono Mestoko. Pendidikan di Indonesia, Dari Jaman ke Jaman. Jakarta:Depdikbud, 1979.
  •  Soegarda Poerbakawatja. Pendidikan Dalam Alam Kemerdekaan Indonesia. Jakarta:Gunung Agung, 1970.
  • Soegarda Poerbakawatja. Pendidikan Dalam Alam Kemerdekaan Indonesia. Jakarta:Gunung Agung, 1970
  • Depdikbud. Pendidikan di Indonesia 1900-1942. (Disadur dari S.L. van der wal. Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1942). Jakarta
  • http://sejarah.upi.edu/ artikel “Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) Sebagai Wadah Organisasi Guru Bumi Putera Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1911-1933)”

 

Guru Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Topik: #guru #pendidikan #sejarah