Keberadaan PT Freeport Indonesia di Papua tidak dapat dilepaskan dari peran Jean Jacques Dozy  seorang  geolog asal Belanda yang juga merupakan salah satu ahli pemotretan geologi yang pertama di dunia. Jean Jacques Dozy  bersama, Frits Julius Wissel dan Antonie Hendrikus Colijn (putra dari Perdana Menteri Belanda 1925-1926, Hendrikus Colijn), melakukan ekspedisi Cartensz pada 29 Oktober 1936.

Sejarah Awal Penemuan Tambang Freeport Indonesia

Dalam catatan ekspedisi tersebut, Jean Jacques Dozy, menulis  kata “Ertsberg” yang dalam bahasa Belanda berarti “Gunung Bijih” atas penemuan batuan hitam kokoh berbentuk aneh yang menonjol di kaki pegunungan setinggi 3.500 meter di pedalaman New Guinea (sekarang Papua).

Dalam catatannya, ia juga menuliskan kata “Grasberg” yang berarti “Gunung Rumput” saat mengenali sebuah gunung tanpa pepohonan.

ekspedisi Carstensz 1963
Bergsport. [Expeditie van A.H. Colijn naar Carstenszgebergte] in Nieuw Guinea 1936. Foto Anton Colijn, Frits Wissel en Jean Jacques Dozy poseren in de sneeuw voor de fotograaf tijdens de Carstensz-expeditie] – Nationaal Archief, Den Haag

Dengan sebelah mata pun saya dapat mengetahui apa yang saya lihat. Bercah-bercah warna hijau dan biru sangat mudah dikenali. Jelas itulah bijih tembaga. –  Jean Jacques Dozy

Dalam buku yang berjudul “Grasberg: Mining the richest and most remote deposit of copper and gold in the world, in the mountains of Irian Jaya Indonesia”. Dozy juga menulis, “Pada akhir perjalanan, kami menemukan cebakan bijih yang jelas mengandung mineral kalkopirit, malasit, lazulit dan bornit. Diperkirakan lebar cebakan bijih ini sekitar 100 meter. Kami juga mengambil beberapa contoh batuan.”

Beberapa contoh bebatuan yang Dozy ambil kemudian dikirim ke laboratorium untuk dianalisa. Hasil analisa Dozy kemudian diterbitkan dalam Jurnal Geologi Leiden pada 1939. Namun hasil laporan yang diterbitkan Universitas Leiden itu, tergeletak begitu saja di perpusatakaan saat Jerman menduduki Belanda pada perang Dunia Kedua dan menghentikan semua kegiatan eksplorasi mineral di Papua.

Laporan tentang hasil analisa Ertsberg pada ekspedisi Cartensz kembali muncul kembali pada 1959 saat Jan van Gruisen, seorang insinyur pertambangan OBM, melakukan studi kepustakaan dan menemukan laporan Dozy. Studi kepustakaan ini berkaitan dengan sebuah pertambangan Belanda bernama Oost Borneo Maatschappij (OBM) yang akan mencari nikel di New Guinea karena perusahaan tambang batubara dan nikel di Kalimantan dan Sulawesi OBM telah ini dinasionalisasikan oleh Pemerintahan Soekarno.

Dengan tersisa dana hanya 70.000 gulden jelas tidak mencukupi untuk melakukan eksplorasi, maka Gruisen menghubungi kawannya insinyur pertambangan asal Amerika Serikat, Forbes Wilson (kelak Wulson menjadi pimpinan eksplorasi di Freeport Sulphur -nama awal Freeport McMoRan). Gruisen pun mengajukan konsesi ke Pemerintah Belanda.

Wilson yang saat itu ada di Eropa bereaksi spontan atas laporan Dozy. “Saya demikian terkesan sehingga bulu kuduk saya berdiri.” Yang menarik bagi Wilson bukan saja Ertsberg, juga keseluruhan kondisi geologis yang diceritakan dalam laporan Dozy.

Laporan Dozy itu mencatat contoh batuan bijih yang diambil, pada dasarnya bijih tembaga kontak-metasomatis yang mengandung emas. Beberapa bongkahan batuan bijih dari permukaan mengandung tembaga cukup kaya (0-40%), sedangkan kandungan emas juga agak lumayan besar (0-15 gram per ton).

Wilson lantas tidak membuang waktu, kemudian menemui Dozy di Den Haag. Saat bertemu, ia lantas “menodongkan” beberapa pertanyaan. “Kabarnya anda pernah berkelana di New Guinea dan menemukan cebakan bijih, berapa besar sih cebakan tersebut?,” tanya Wilson dengan penuh penasaran.

Pertanyaan Wilson membuat Dozy terhenyak. Bagaimana tidak, setelah 23 tahun lamanya, baru ada orang bertanya demikian kepada Dozy.

“Kagetnya serasa seperti sedang ditodong pistol tepat di dada,” kata Dozy.

Dozy lantas menjawab tanpa berlebih-lebihan. “Begini, cebakan bijih tersebut merupakan sebuah dinding dengan ketinggian 75 meter dan dengan lebar kira-kira sama.”

Forbes Wilson menjadi orang pertama yang mampu menerawang adanya potensi anomali geologis yang ditemukan dalam ekspedisi Dozy ke pegunungan Cartensz pada 1936.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Wilson mengirim telegram ke New York yang kemudian menjadi markas besar Freeport. Ia pun mendapat kewenangan menggunakan dana sebesar USD120.000 untuk mengevaluasi dan mengambil contoh deposit di Ertsberg.

Pada akhir 1950-an, jumlah USD120.000 setara dengan USD1,2 juta saat ini. Dalam bukunya The Conquest of Copper Mountain, Wilson menyiapkan diri untuk bisa mencapai Ertsberg, termasuk menghentikan kebiasaannya merokok yang sudah dijalani lebih 30 tahun.

Pada April 1960, Wilson pun bertolak ke New Guinea. Sesampainya di Ertsberg, dirinya lebih takjub dari apa yang diceritakan Dozy. Wilson lantas menulis kesan pertamanya tentang Ertsberg:

“Ertsberg ternyata lebih besar dari yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya memandang untuk beberapa menit dengan perasaan kagum dan dengan lambat saya mendekati kaki bukit ini. Saya baru mengenal Ertsberg dalam setahun tetapi rasanya saya telah menunggu kesempatan bertemu langsung ini selama hidup saya. Dengan palu geologi, saya memecahkan beberapa bongkahan batu yang terlepas dari masa utama. Ketika lapisan luar batuan yang teroksidasi, saya kupas dengan palu. Di dalamnya terlihat kilauan warna keemasan mineral kalkopirit, yakni mineral sulfida emas dan tembaga. Semua yang dikatakan oleh Dozy kepada saya dalam rapat di Den Haag merupakan kenyataan.”

Berdasarkan 300 kilogram contoh batuan yang dibawa pulang, Ertsberg ternyata terdiri dari 40%-50% oksida besi dalam bentuk mineral magnetit; 3,5% tembaga dakan bentuk mineral kalkopirit dan bornit (keduanya sulfida besi dan tembaga). Ertsberg pun menjadi deposit tembaga terkaya yang pernah ditemukan di atas tanah.

Analisa laboratorium dari hasil yang dibawa Wilson menyatakan kandungan tembaga sebesar “13 acres”, kode yang dibuat Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih. Dan untuk setiap kedalaman 100 meter, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih. Jumlah perkiraan saat itu mencapai 50 juta ton bijih.

Hasil ini membuat Wilson menyebutnya “bagaikan gunung emas di bulan”. Untuk menambang dan mengolah mineral ini, diperlukan dana jutaan dolar Amerika Serikat. Wilson mendesak dewan direktur Freeport untuk segera menambang endapan bijih yang terkandung dalam gunung itu.

Ia pun meyakinkan investor dan para pemberi pinjaman untuk melakukan pemboran inti ke dalam tanah dan dengan pasti menetapkan ukuran, bentuk dan jumlah kandungan bijih dalam batuan. Karena itu Erstberg perlu dibor.

Sejarah Awal Eksplorasi Tambang Freeport Indonesia

Penemuan Ertsberg memberi berkah bagi Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu pada awalnya. Saat sedang membangun dan mengembangkan tambang nikel di Moa Bay, Kuba, angin politik berubah. Dalam artikel bertajuk “JFK, Indonesia, CIA and Freeport” yang ditulis Lisa Pease pada 1996 di majalah Probe, pergantian kekuasaan membuat Freeport kecewa.

Ertsberg - puncak jaya
Pemandangan beberapa gletser di Puncak Jaya pada tahun 1936. Sebagian besar es dari gletser ini telah menghilang.

Fidel Castro menggulingkan kekuasaan rezim militer Jenderal Fulgencio Batista yang pro-Amerika Serikat. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasi. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terpaksa angkat kaki.

Hilangnya operasi nikel di Kuba mendorong Freeport memperluas diversifikasi usaha ke seluruh dunia. Dan pertemuan Forbes Wilson dengan Jean Jacques Dozy, membuat Freeport mengalihkan pandangan ke Ertsberg.

Tetapi untuk melanjutkan proyek Ertsberg, Freeport harus melakukan pemboran secara sistematis supaya cadangan bijih dapat dievaluasi dengan pasti. Hanya pekerjaan tersebut tidak mudah dilaksanakan. Faktor penyebabnya kendala teknis saat itu. Untuk membawa peralatan bor yang berton-ton beratnya sulit dilakukan dengan menggunakan perahu dorong.

Jalan keluar satu-satunya ialah memakai helikopter. Namun pada awal tahun 1960-an, helikopter masih menggunakan mesin piston. Untuk terbang menjelajah Ertsberg dengan ketinggian 3.600 meter, helikopter jenis itu hanya mampu mengangkut satu orang dengan beban 210 kilogram.

Dengan kemampuan terbatas, diperlukan waktu berbulan-bulan untuk membawa satu unit peralatan bor dan operatornya ke Ertsberg. Selain kendala teknis, faktor politik menjadi tantangan terbesar bagi Freeport.

Saat itu, Pemerintahan Soekarno sedang bersitegang dengan Belanda soal status New Guinea Barat (sekarang Papua). Belanda berdalih New Guinea secara alamiah tidak mempunyai hubungan geografis dan budaya dengan Kepulauan Nusantara. Dengan demikian, dalil Belanda, New Guinea tidak harus masuk ke dalam Negara Indonesia yang baru merdeka.

Indonesia memprotes dalih Belanda. Presiden Soekarno lalu mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa agar Belanda menyerahkan New Guinea Barat ke Republik Indonesia. Tetapi dalam perdebatan di PBB tahun 1957, Indonesia kalah. Di dalam negeri, Presiden Soekarno mengambil tindakan drastis dengan mengusir warga Belanda dan menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia.

Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno memaklumatkan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) di Alun-alun Utama Yogyakarta dan menunjuk Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Operasi Mandala. Soekarno lantas mengganti nama New Guinea Barat menjadi Irian yang merupakan kepanjangan dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.

Operasi militer ini tidak berujung perang terbuka. Belanda pun mendapat tekanan dari Amerika Serikat. Pasalnya, Negeri Paman Sam khawatir dengan semakin mesranya Bung Karno dengan blok Uni Soviet, sehingga AS menekan Belanda untuk menyerah.

Bulan Agustus 1962, Belanda menyerahkan Irian Barat kepada PBB. Setelah itu pada 1963, PBB menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Setelah Irian Barat berada dalam naungan Republik Indonesia, Freeport juga belum bisa mengembangkan proyek Ertsberg. Kedekatan Soekarno dengan kelompok kiri menjadi penyebabnya. Soekarno ketika itu akrab dengan Republik Rakyat China dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan, pada 1963, hampir semua perusahaan asing diusir dari Indonesia, bersamaan dengan keluarnya Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pecahnya kudeta G-30S/PKI pada 1965, membuat situasi politik di Indonesia berubah. Pengaruh Soekarno memudar seiring gagalnya pemberontakan tersebut. Mayor Jenderal Soeharto berhasil mematahkan pemberontakan. Sejak awal 1967, Soeharto secara resmi ditunjuk menjadi Pejabat Presiden dan setahun kemudian menjadi Presiden.

Sejarah Awal Kontrak Karya Freeport Indonesia

Berbeda dengan pendahulunya, Presiden Soeharto anti-komunis dan sangat pragmatis dalam hal perekonomian. Soeharto lalu menarik modal asing untuk membangun Indonesia. Hal ini menjadi babak baru bagi Freeport untuk melanjutkan proyek Ertsberg.

Pemimpin Freeport saat itu, Langbourne William mendengar kabar perubahan politik di Indonesia dari Texaco. Perusahaan ini berhasil mempertahankan usahanya di Indonesia kendati ada pergolakan politik. Keberhasilan Texaco ini tidak lepas dari Manajer Indonesia bernama Julius Tahija.

Pada Februari 1966, petinggi Freeport menemui Tahija yang juga pimpinan Texaco. Ia merupakan usahawan yang gesit dan mempunyai banyak relasi. Sebagai orang Ambon, Tahija tidak termasuk dalam elit orang-orang Jawa yang berkuasa. Namun sebagai bekas militer, Tahija mempunyai banyak sahabat di lingkungan pemerintahan. Karena ia mantan serdadu KNIL dan satu angkatan dengan Soeharto.

Dalam buku berjudul “Grasberg: Mining the richest and most remote deposit of copper and gold in the world, in the mountains of Irian Jaya Indonesia”, Tahija lantas mengatur pertemuan antara Freeport dengan Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia Jenderal Ibnu Sutowo di Amsterdam, Belanda.

Meski Freeport sudah menutup rapat-rapat soal ekspedisi Ertsberg, namun Ibnu Sutowo sudah mengetahuinya. Dalam pertemuan, ia mengatakan bahwa pihak Jepang sudah mendekati dan bermaksud melakukan proyek Ertsberg.

Dalam buku Grasberg yang ditulis oleh George A. Mealey, ahli pertambangan yang kemudian menjadi Chief Operating Officer Freeport-McMoRan Copper & Gold, menuliskan bahwa Departemen Pertambangan (kini Kementerian ESDM) yang menganjurkan pihak Jepang untuk mengembangkan Ertsberg. Tetapi pihak Jepang tidak berhasil menemukan Ertsberg dan Departemen Pertambangan kehilangan minat terhadap mereka.

Namun karena Ibnu Sutowo melihat Freeport lebih mampu untuk segera membawa proyek ini pada tingkat produksi, akhirnya membolehkan Freeport untuk meneruskan operasi Ertsberg.

Presiden Freeport Robert Hill dan Forbes Wilson lantas menanyakan kepada Tahija, siapa yang pantas mewakili Freeport untuk berunding dengan Pemerintah Indonesia. Tahija menyodorkan nama Ali Budiardjo. Nama terakhir pernah menjadi penasehat Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang. Kemudian menjadi pejabat di Departemen Penerangan dan Biro Perancang Negara (kini Bappenas).

Denise Leith dalam bukunya The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia, menuliskan bahwa Ali Budiardjo mengatakan Freeport sebagai klien pertamanya.

Adapun wawancara dengan Jeffrey Alan Winters, 24 Maret 1989, Ali menceritakan pertemuan pertamanya dengan Freeport pada Juli 1966 dan kedua pada Oktober 1966. “Kami canggung. Karena belum punya dasar hukum untuk melaksanakan perjanjian investasi,” kata Ali, sebagaimana ditulis Jeffrey dalam bukunya Power in Motion: Capital Mobility and The Indonesian State.

Pasalnya, saat itu Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur investasi asing. Hal ini karena sebelumnya, Indonesia di bawah Pemerintahan Soekarno mengusung ekonomi berdikari.

Ali yang juga mendirikan kantor hukum, disebut-sebut menemukan konsep Kontrak Karya (KK). Sebelumnya, Menteri Pertambangan Indonesia menawarkan kepada Freeport konsep kontrak “bagi hasil” merujuk pada pelaksanaan kontrak perminyakan asing yang disiapkan oleh Pemerintahan Soekarno dulu.

Kontrak bagi hasil dianggap cocok untuk perminyakan yang dapat menghasilkan dengan cepat, tetapi tidak untuk pertambangan tembaga yang membutuhkan investasi besar dan waktu lama untuk sampai pada tahap produksi.

Akhirnya Kontrak Karya menjadi kesepakatan. Freeport pun mendapatkan payung hukum: Undang-udang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967 yang menjadi awal bagi penanaman modal asing di Indonesia.

Undang-undang ini pun mengubah wajah perekonomian Indonesia, dari sebelumnya tertutup menjadi terbuka dengan asing. “Saya yakin bahwa masa depan Indonesia sangat tergantung pada investasi dalam negeri maupun asing,” ucap Budiardjo.

Ia menambahkan saat itu, modal dalam negeri masih terlalu kecil untuk berperan. Karena Freeport merupakan investasi asing pertama di bawah undang-undang baru, maka Freeport harus berhasil agar menjadi contoh bagi penanaman modal asing lainnya. Atas jasanya, pada 1974, Ali Budiardjo menjadi orang Indonesia pertama yang menduduki posisi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia menggantikan Forbes Wilson.

kontrak karya pt freeport Indonesia pertama
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Forbes Wilson, Presiden Freeport Sulphur Robert Hill dan Menteri Pertambangan Indonesia Slamet Bratanata menandatangani Kontrak Karya pada 5 April 1967. Foto/The Netherlands National News Agency

Pada 5 April 1967, di bawah sorotan kamera televisi, Menteri Pertambangan Indonesia Slamet Bratanata dan Presiden Freeport Sulphur Robert Hill dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Forbes Wilson menandatangani Kontrak Karya selama 30 tahun untuk pengembangan tambang Ertsberg.

Kontrak Karya yang ditandatangani Indonesia dengan Freeport ini merupakan kontrak pertama kali di bawah UU Penanaman Modal Asing

Pada tahun pertama operasi, Freeport menerima tax holiday. Dan harga tembaga saat itu mencapai USD1,40 per pon. Freeport pun meraih untung besar. Seiring waktu, Freeport terus meluaskan area pertambangannya.

Menjelang akhir 1972, pembangunan jalan selesai dibangun, kereta kabel berjalan lancar dan jalur pipa konsentrat terpasang baik. Pada Desember 1972, 10.000 ton bijih Ertsberg yang pertama berhasil dikapalkan.

Tiga bulan kemudian atau tepatnya Maret 1973, Presiden Soeharto meresmikan tambang Ertsberg. Dalam perjalanannya memakai kendaraan jeep, Soeharto memberi nama jalur tersebut sebagai “Tembagapura” yang berarti Kota Tembaga. Tanpa diduga, Soeharto juga mengubah nama Irian Barat menjadi Irian Jaya.

Sejarah Awal Penambangan Emas PT Freeport Indonesia

Sepuluh tahun setelah beroperasi, PT Freeport Indonesia mengalami masalah. Pasalnya, kandungan bijih di Ertsberg mulai menipis. Hal ini ditambah dengan anjloknya harga tembaga di pasaran dunia karena mulai digunakannya serat optik dan alumunium sebagai pengganti kawat tembaga saat itu. Harga tembaga pun melorot berkisar 60 sen sampai 70 sen dolar AS per pon.

Freeport pun gamang. Beberapa dewan direktur mulai berpikir untuk melego operasi mereka di Irian Jaya dan mencari peluang bisnis lain yang lebih menguntungkan. Namun, beberapa manajer Freeport yakin masih banyak tembaga di wilayah tersebut, apalagi kondisi geologis sangat mendukung keyakinan tersebut.

Di saat pergulatan batin, perubahan terjadi di induk perusahaan. Freeport Sulphur yang telah bersalin nama menjadi Freeport Minerals Company bergabung dengan McMoRan Oil and Gas. Perusahaan yang dibentuk tahun 1967 ini, merupakan akronim dari tiga pendirinya: William Kennon McWilliams Jr (“Mc”), James Robert Moffet (“Mo”), yang merupakan geolog perminyakan dan Byron McLean Rankin Jr (“Ran”), seorang ahli pemasaran dan penjualan.

Pernikahan kedua perusahaan ini di tahun 1981, membuat namanya berubah menjadi Freeport-McMoRan Incorporated. Seiring dengan itu, tampuk kepemimpinan pun berubah. James Robert Moffet atau yang dikenal dengan Jim Bob ditunjuk sebagai chief executive officer. Mereka juga melakukan perubahan landasan operasi, dengan memindahkan kantor pusat dari New York ke New Orleans di Negara Bagian Louisiana.

Mendapat posisi puncak, Jim Bob langsung memerintahkan seluruh awaknya untuk meningkatkan upaya eksplorasi. Selama bertahun-tahun, ahli geologi Freeport Dave Potter bersama rekan-rekannya hanya memandang Grasberg sebagai gunung rumput dari tepi Ertsberg.

Di saat harga tembaga menukik, harga emas menunjukkan kemilaunya, yaitu USD450 per troy ons (t.oz). Freeport pun langsung demam emas. Potter yang sebelumnya hanya memandang Grasberg, dipindahkan ke bagian eksplorasi pada operasi penambangan.

“Pikiran saya hanya tertuju pada emas. Karena saya tidak terlalu berpengalaman dalam sistem tembaga porfiri. Setelah saya pikirkan kembali, barangkali hal itu ada baiknya. Karena dengan demikian, saya tidak terpengaruh oleh pendapat yang menyatakan bahwa di sana tidak terdapat apa-apa!,” ujarnya seperti dikutip dalam buku Grasberg: Mining the richest and most remote deposit of copper and gold in the world, in the mountains of Irian Jaya Indonesia.

Ia pun mengambil beberapa contoh batuan dari puncak Grasberg. Setelah dianalisa, terdapat “anomali” yang kuat, bahasa geologi yang lazim dipakai dengan kandungan emas antara satu hingga dua gram per ton. Angka ini tentu saja sebuah harapan. Terlebih karena “anomali” tersebut terdapat di daerah permukaan yang luas.

Potter kemudian menancapkan alat bor untuk pertama kali di Grasberg pada tahun 1985. Freeport lantas memulai operasi penambangan di Grasberg. Tambang ini berlokasi terpencil di daerah pegunungan setinggi 4.200 meter. Lapisan udaranya pun tipis dan diselimuti oleh kabut.

Pada pagi hari, matahari menyinari Grasberg menciptakan panorama luar biasa indah pada tumpukan salju dan puncak gunung saling berbaris bersama jurang-jurang yang curam. Sebuah pemandangan yang memotivasi Freeport untuk menggalinya lebih jauh.

Dengan segera, Freeport membuat perencanaan tambang terbuka untuk menggali batuan bijih. Mereka membuat studi kelayakan awal dengan proyeksi produksi sebesar 32.000 ton per hari, kendati mereka optimistis cadangan yang ada sangat melimpah. Studi kelayakan ini dikenal dengan nama “Program 32K” untuk tahap pertama proyek Grasberg. Program 32K ini menelan biaya USD125 juta.

Strategi penambangan ini ditetapkan bahwa 20.000 ton ditambang dari bawah tanah dan 12.000 ton dari puncak Grasberg. Namun untuk membuat terowongan ke bawah tanah tidaklah mudah. Para pekerja hanya mampu membuat kemajuan beberapa inci dalam sehari. Pembuatan terowongan pun menjadi salah satu titik kritis, sehingga membahayakan investasi.

Para pekerja Filipina yang bertugas sebagai pengawas proyek memberi solusi unik atau bisa disebut berbau klenik. Mereka membawa ayam berbulu hitam (ayam cemani) dari kota dan memotong kepalanya lalu menyebarkan darah ayam di sekitar tempat kerja. Hari berikutnya, para pekerja mencapai kemajuan pesat dalam pemasangan batang besi penguat sehingga mampu dengan cepat mencapai batuan yang lebih stabil. Sejak saat itu, terowongan tersebut diberi nama terowongan Ayam Hitam. Pekerja Indonesia pun melakukan hal sama setiap kali mendapatkan kesulitan.

Selanjutnya, penambangan di Gunung Grasberg dilakukan di lima titik, dimulai dari bagian puncak. Dan hasilnya menunjukkan kadar emas dan tembaga. Yang lebih mencengangkan adalah hasil pemboran kelima. Pasalnya dari 611 meter kedalaman bor, 591 meter menembus lapisan bijih yang mengandung kadar tembaga 1,69% dan kadar emas 1,77 gram per ton. “Hasil pemboran ini yang paling hebat yang pernah ada dalam sejarah industri pertambangan,” tulis George A Mealey, penulis buku Grasberg, yang merupakan chief operating officer dari Freeport-McMoRan Copper & Gold.

Sejarah Kontrak Kerja 2 PT Freeport Indonesia

Grasberg menjadi emas paling besar dan paling berkilau dalam mahkota Freeport. Dan tambang Grasberg mencapai produksi dengan sangat cepat. Apalagi dengan dibangunnya Heat Road pada 1993 yang memungkinkan shovel dan truk-truk berat diangkut ke tambang. Dan awal 1995, produksi Grasberg telah berlipat ganda. Pada awalnya, Operasi Grasberg rata-rata mampu menghasilkan batuan sebesar 10 ton per hari per pegawai menjadi 150 ton per hari per pegawai.

PT freeport indonesia

Jumlah pekerja pun meningkat hingga lebih dari 1.000 tenaga kerja, dengan operasi penambangan berjalan dalam dua shift, selama 24 jam sehari, 365 hari per tahun. Semua kerja keras ini menghasilkan satu miliar pon tembaga dan 1,4 juta t.oz emas.

Penambangan Freeport di Indonesia menjelma menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Bahkan operasi Freeport di Indonesia telah tumbuh melebihi induknya. Freeport pun beruntung dapat melakukan eksplorasi di beberapa daerah produktif dalam wilayah Kontrak Karya.

Seiring dengan cadangan tambahan dan cadangan bawah tanah di daerah yang berdekatan dan di Grasberg, Freeport-McMoRan Inc membentuk Freeport-McMoRan Copper & Gold dan mencatatkan namanya di bursa saham New York, dengan kode emiten FCX, sebagai pemilik tunggal seluruh aset di Indonesia.

Potensi ini membuat Freeport pada 30 Desember 1991, melakukan Kontrak Karya kedua. Ketika itu, posisi Menteri Pertambangan dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita. Penandatanganan KK kedua itu untuk masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Artinya Kontrak Karya Freeport baru habis pada tahun 2041. (Kalau kontrak kerja PT Freeport Indonesia habis pada 2021 maka mereka baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak tambang paling cepat pada 2019).

Kondisi Freeport pun di Indonesia semakin cerah, bahkan menjelang pergantian milenium. Ketika menulis buku Grasberg, Mealey mencatat Freeport telah menemukan lebih dari 75 lokasi yang memiliki potensi mineral. Bahkan pria yang pernah menjadi Kepala Proyek Pengembangan Tambang El Teniente di Chili itu, menyatakan cadangan bijih di sekitar Grasberg dapat ditambang lebih dari 100 tahun, merupakan kesempatan yang jarang ada di daerah pertambangan lain di muka bumi.

Eksplorasi cadangan tembaga dan emas mencapai puncaknya pada 2001 di Tambang Grasberg, dengan kapasitas produksi mencapai hingga 238 ribu ton per hari. Grasberg pun menjadi cadangan emas terbesar di dunia dan cadangan tembaga terbesar ketiga di kolong langit.

 

Sejarah Freeport di Indonesia bersumber: https://ekbis.sindonews.com dipublikasikan Februari 2017

Topik: #freeport #Indonesia #kerjasama #sejarah