Pembentukan Komisi HAM OKI merupakan suatu tonggak capaian penting dalam sejarah Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Untuk pertama kalinya, OKI membentuk badan permanen yang juga merupakan organ utama OKI yang berisikan pakar-pakar di bidang HAM. Ini merefleksikan proses moderasi dan modernisasi organisasi yang sedang berlangsung. Harapannya organ baru ini dapat mengatasi berbagai persoalan dan kesalahpahaman yang kerap berujung pada pada Islamofobia.

Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang dulu bernama Organisasi Konferensi Islam, bermarkas di Jeddah, Arab Saudi, dengan 57 negara anggota ini merupakan organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB. OKI didirikan di Rabat, Maroko pada 12 Rajab 1389 H (25 September 1969)  dalam Pertemuan Pertama para Pemimpin Dunia Islam yang diselenggarakan sebagai reaksi terhadap terjadinya peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsa pada 21 Agustus 1969.

Semula organisasi ini bernama Organisasi Konferensi Islam (Organization of Islamic Conference/OIC), namun pada 28 Juni 2011 berganti nama menjadi Organisasi Kerja Sama Islam (Organization of Islamic Cooperation/OIC). Komisi HAM OKI sendiri dibentuk pada Pertemuan Tingkat Menteri (Council of Foreign Ministers/CFM) ke-38 di Astana bulan Juni 2011.

Isu Hak Asasi Manusia (HAM) OKI

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mulai serius menggarap isu Hak Asasi Manusia (HAM). Keseriusan ini tampak dalam pertemuan pertama Komisi Permanen dan Independen Hak Asasi Manusia Organisasi Kerja Sama Islam (OIC-Independent Pemanent Human Rights Commission/IPHRC), atau biasa disebut Komisi HAM OKI, di Jakarta tanggal 20-24 Februari 2012. Sebanyak 17 Komisioner dari 18 anggota Komisi, wakil dari 24 negara OKI, dan 2 wakil dari negara observer hadir dan aktif dalam kesempatan tersebut. Bahkan, pakar-pakar internasional di bidang HAM dan anggota-anggota organisasi masyarakat sipil turut meramaikan pertemuan tersebut.

Di awal kiprahnya ini, Komisi HAM OKI di pertemuan yang pertama mulai menggodok secara komprehensif draf rule of procedure (tata kerja) dan mandat mereka. Para Komisioner juga membahas hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya di negara-negara anggota OKI serta situasi dan isu HAM di Agenda OKI. Situasi di Palestina dan wilayah okupasi Arab lainnya pun juga ditetapkan menjadi agenda permanen Komisi. Tentunya hal ini tidak terlepas dari alotnya pembahasan untuk isu-isu yang sulit disepakati, misalnya tentang hubungan antara standar dan prinsip HAM universal dengan nilai-nilai Islam.

Peran Indonesia dalam Komisi HAM OKI

Harapan Indonesia agar Komisi HAM OKI dapat menjadi salah satu kekuatan pendorong reformasi proses transformasi OKI untuk menjadi organisasi yang efektif. Komisi ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman yang benar tentang kompatibilitas nilai-nilai Islam, HAM, dan demokrasi. Indonesia pun siap berikan dukungan penuh terhadap Komisi ini agar dapat bekerja secara efektif dan kredibel.

Menarik untuk mengamati peranan Indonesia dalam Komisi HAM OKI yang tampak cukup menonjol. Pertama, Indonesia menjadi tuan rumah untuk Pertemuan Pertama. Kedua, komisioner perempuan dari Indonesia, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, didaulat sebagai chairperson interim dalam pertemuan tersebut.

Hal ini memberikan warna sendiri bagi Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim yang menerapkan demokrasi, namun mampu melahirkan tokoh perempuan yang sanggup berkontribusi di level global dan berperan dalam memimpin negara-negara Islam lainnya untuk mencari terobosan dalam suatu isu yang dipandang sangat krusial di dunia internasional.

Terlebih lagi, dengan berbagai fasilitas yang dimiliki serta keberhasilan memadukan demokrasi, HAM, dan Islam, Indonesia dinilai paling tepat sebagai markas tetap bagi Kantor Komisi HAM OKI. Beberapa komisioner bahkan secara informal sempat menyampaikan harapan agar Pertemuan Tingkat Menteri OKI ke-39 mendatang dapat menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah Kantor Komisi HAM OKI.

Dari aspek nilai taktisnya, pertemuan pertama ini telah dapat memberikan landasan awal bagi kerja Komisi HAM OKI di masa mendatang serta membangun interaksi yang intensif dan saling percaya antar anggota Komisi HAM OKI. Komisi pun telah tetapkan agenda rutin dan prioritas agenda berikutnya, antara lain: hak-hak wanita dan anak-anak, hak atas pembangunan, hak atas pendidikan, isu-isu HAM pada agenda OKI, dan kerja sama dengan negara anggota OKI dalam kemajuan dan perlindungan HAM

Sedangkan, dari aspek nilai strategisnya, pertemuan tersebut telah mampu menyedot perhatian besar dari civil society serta media nasional dan internasional. Berbagai pemberitaan media massa banyak menyorot keberhasilan Komisi HAM OKI dalam menampilkan komisioner perempuan (Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin) sebagai Ketua Komisi dan ungkapan harapan terhadap kontribusi Komisi bagi kemajuan HAM di negara-negara OKI.

 

Komisi HAM Dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI)

Topik: #kerjasama #negara #sejarah