Barangkali kita sering mendengar ucapan bernada ancaman, ejekan, penghinaan, atau bahkan melihat terkadang disertai gerakan fisik tertentu yang menunjukan ancaman atau menakuti-nakuti untuk memberikan tekanan secara psikologis dari sekelompok anak kepada seorang anak atau anak yang lebih senior kepada yunior.  Si anak yang mendapat “ancaman” menunjukkan ekspresi tertekan, sehingga menjadi tidak nyaman secara fisik, pikiran, maupun perasaan.

Ekspresi anak tersebut sudah dikategorikan sebagai bullying (arti harfiahnya: penindasan). Bullying merupakan suatu bentuk ekpresi, aksi bahkan perilaku kekerasan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberi pengertian bullying sebagai kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.

Bullying Ada di Sekitar Kita

Bullying biasanya dilakukan berulang sebagai suatu ancaman, atau paksaan dari seseorang atau kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain. Bila dilakukan terus menerus akan menimbulkan trauma, ketakutan, kecemasan, dan depresi. Kejadian tersebut sangat mungkin berlangsung pada pihak yang setara, namun, sering terjadi pada pihak yang tidak berimbang secara kekuatan maupun kekuasaan. Salah satu pihak dalam situasi tidak mampu mempertahankan diri atau tidak berdaya. Korban bullying biasanya memang telah diposisikan sebagai target.

Bullying sering kita temui pada hubungan sosial yang bersifat subordinat antara senior dan junior. Kita bisa menemui bullying misalnya pada “perpeloncoan” di suatu insitusi pendidikan, bahkan guru tanpa disadari bisa melakukan bullying terhadap muridnya untuk tujuan tertentu, karena bisa saja bullying menjadi tipis batasnya ketika seorang pendidik atau guru ingin menerapkan kedisiplinan.

Bullying yang terjadi di dunia kerja atau di suatu lembaga kerja dan bahkan di organisasi masyarakat biasanya disebabkan ada atasan dan bawahan, atau karena sistem senioritas yang diterapkan. Bullying bahkan bisa kita temui di lingkungan keluarga kita sendiri, sehingga berpotensi menjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Bila melihat contoh-contoh tersebut, maka ada tiga hal yang menjadi dasar sehingga suatu perilaku dianggap bullying. Pertama bila diungkapkan secara lisan atau verbal seperti memaki, mengejek, menggosipkan, bahkan mengumpat dengan kata-kata kasar, atau menganggap lawan bodoh atau kerdil. Kedua adalah secara fisik, contohnya mengancam, memukul, menampar, atau memaksa untuk melakukan sesuatu atau meminta sesuatu, disertai tekanan emosi dan tindakan fisik. Bentuk ketiga adalah bullying yang bersifat psikologis misalnya mengintimidasi, mengabaikan, mengacuhkan (bahasa gaul: nyuekin), rasis, diskriminatif, dan sebagainya.

Dengan demikian, Pengertian bullying adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang terhadap orang lain secara berulang-ulang. Tindakan negatif yang dimaksud meliputi tindakan-tindakan menyakiti, melukai, atau membuat seseorang merasa tidak nyaman.

 

Potensi kekerasan dan bahaya bullying

Banyak fakta menunjukan bahwa bullying dapat berdampak serius bahkan fatal pada perilaku perorangan maupun kelompok. Mengapa? Ini disebabkan karena bullying merupakan bentuk perilaku kekerasan. Perilaku tersebut dipicu oleh energi negatif yang berwujud emosi (seperti kesal dan marah), yang dapat mendorong seseorang ataupun kelompok untuk bertindak anarkis, bahkan secara ekstrem bisa menjadi pemicu tindakan kriminal, misalnya penganiayaan, pembunuhan.

Potensi kekerasan lebih lanjut tidak hanya dialami oleh pihak yang melakukan bullying, karena yang bersangkutan tidak mampu lagi mengendalikan emosi, sampai bertindak kriminal, misalnya membunuh dan sebagainya. Potensi kekerasan tentunya dapat dialami oleh objek bullying, misalnya bawahan yang tertekan, korban sistem senioritas di sekolah, objek tindakan bullying guru dan lain-lain.

Salah satu contoh kasus kriminal yang terkait dengan bullying di sekolah terjadi di Amerika Serikat. Pernah diberitakan dua orang siswa di salah satu SMA di Colorado, menembakkan senapan hingga menewaskan 13 siswa dan melukai sekitar 24 siswa yang lain, dan kemudian mereka bunuh diri. Pada waktu itu peristiwa tersebut disiarkan juga oleh stasiun televisi di Indonesia serta ramai dibahas di media massa. Fakta berdasarkan tinjauan psikologi menunjukan bahwa kedua siswa tersebut mempunyai catatan sebagai pribadi yang pernah mengalami intimidasi dalam waktu yang lama. Suatu temuan yang dirilis setelah peristiwa itu menunjukkan bahwa ternyata 60-80% siswa pernah mengalami bullying di sekolah.

 

Stop Bullying Sekarang dan Selamanya

Setiap agama atau norma sosial telah secara rinci menjelaskan tentang bagaimana umat harus berkelakuan baik, tidak boleh melakukan kekerasan dan penuh kasih sayang terhadap sesamanya. Berikut ini beberapa masukan yang bersifat umum tanpa menyentuh ranah agama, untuk mencegah tindakan dan perilaku bullying pada diri kita sendiri serta mencegah kita melakukan bullying.

1. Mengelola energi positif

Energi meliputi segala bentuk pikiran, langkah, perbuatan, ucapan, ayunan langkah, senyum yang kita bagi, bahkan niat yang terlintas dalam pikiran kita. Energi positif adalah segala hal yang kita miliki yang akan membuat orang lain bersemangat, senang, tidak sakit hati, dan selalu ingin bertemu serta berkawan dengan kita.

2. Mengembangkan diri

Setiap makhluk hidup ditakdirkan mempunyai kelemahan, kelebihan serta potensi untuk kelangsungan hidup, cita-cita, dan mewujudkan mimpi. Maka mulailah untuk bertanya siapa diri kita, apa tujuan kita, dan apa yang kita miliki untuk mencapai tujuan itu. Tiga hal ini menjadi dasar untuk pengembangan diri kita. Pengembangan diri merupakan proses yang terjadi di dalam diri sendiri, bukan orang lain. Setiap detik dari hidup kita harus diyakini untuk kemajuan dan perbaikan diri, sehingga tidak ada waktu untuk kesal, murung, rendah diri, dan sebagainya.

3. Mengelola fungsi otak kanan dan otak kiri

Kedua otak ini menjadi bagian terbesar dari otak manusia yang bertanggung jawab atas semua kegiatan intelektual, seperti kemampuan berpikir, bernalar, mengingat, membayangkan, dan merencanakan. Fungsi otak kiri berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, merupakan pusat matematika dan pengendali intelligence quotient (IQ), yang bersifat jangka pendek. Sebaliknya, otak kanan berfungsi dalam perkembangan emotional quotient (EQ), berhubungan dengan interaksi dengan manusia lain dan pengendalian emosi. Pada otak kanan pula terletak kemampuan intuitif merasakan dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, dan melukis. Keseimbangan fungsi kedua otak diyakini dapat menghasilkan ketenangan jiwa serta keseimbangan dalam pikiran, sikap dan tindakan, sehingga kita tidak hanya mempertimbangkan untung dan rugi atau menang dan kalah.

4. Penghargaan terhadap hak orang lain

Seperti halnya kita yang akan sakit hati, rendah hati, sedih, atau marah bila kita merasa orang lain melecehkan, menganggap kita tidak mampu, tidak memperhatikan, tidak mendengarkan pendapat kita, mengambil hak kita tanpa ijin dan sebagainya, demikian pula orang lain. Oleh karena itu penghargaan terhadap hak orang lain seperti halnya kita menghargai hak sendiri merupakan sikap mutlak yang perlu kita praktekan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, sikap ini akan mencegah konflik yang berujung pada bullying.

5. Perhatian terhadap hak tubuh sendiri

Tubuh kita punya hak. Apabila kita tidak memenuhinya maka kita telah melakukan kekerasan atas tubuh kita sendiri. Kehidupan yang ideal dapat diwujudkan bila ada keseimbangan atas pemenuhan kebutuhan fisik dan jiwa. Siklus alam ada terang dan gelap. Ketika alam sedang terang benderang kita diwajibkan melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan fisik, termasuk hak tubuh yang bersifat aktualisasi. Bagi kita yang masih pelajar tentu saja belajar dan kegiatan ekstra yang bertujuan memberikan makanan positif bagi fisik kita. Ketika alam mulai berubah gelap, maka waktu kita untuk melakukan kegiatan yang lebih bersifat nonfisik, seperti kegiatan yang bersifat introspeksi dan relaksasi, memenuhi hak tubuh untuk istirahat, dan kita akan segar di hari berikutnya. Diyakini aktivitas fisik yang tidak melebihi kemampuan tubuh, akan mampu menjaga stabilitas emosi.

Penulis Sri Wahyuni, aktivis resolusi konflik dan perdamaian

 

Stop Bullying Sekarang Juga – Literasi Publik

Topik: #hubungan #masyarakat #sosial