Daerah Aceh ditetapkan sebagai daerah pabean berdasarkan pasal 9 Indische TariefWeht (Ind. Stbl 1924 N0. 487), namun pulau Weh dikecualikan dari ketentuan itu. Artinya meskipun pulau Weh masuk wilayah Aceh, tetapi bukan termasuk kawasan pabean.

Pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang Darurat No. 32 tahun 1950 (lembaran Negara 1950 N0.65) yang diundangkan pada tanggal 21 Oktober 1950, menetapkan :

Dari apa yang ditetapkan pada 1, ke 1 pasal 2 Ordonasi 7 Desember 1910 (Ind.Stbl. No. 629) sebagaimana telah dirubah dan ditambah semenjak itu, terakhir dengan Ordonasi tanggal 26 Juli 1934 (Ind.Stbl N0. 471) tambahannya yang berbunyi : met uitzondering van het eilandweh dihapuskan

Pasal 1 dari Undang-Undang Darurat No.32 tahun 1950 dimaksudkan untuk menghapuskan pengecualian tersebut, sehingga dengan sendirinya Pulau Weh menjadi masuk ke dalam daerah pabean.

Penjelasan (Tambahan Lembaran Negara 1950 N0.47) menyatakan sebagai berikut:

Seperti diketahui baik Pulau Weh maupun Kepulauan Riau letaknya di luar daerah pabean. Meskipun pemasukan daerah-daerah ini sangat diharapkan, jika dihubungkan dengan pemberantasan penyelundupan. Mengenai Kepulauan Riau banyak kesukaran dan hambatan yang harus dihadapi untuk mengadakan penjagaan yang sempurna dan efektif, karena bentuk dan jumlahnya menyebabkan pengawasan atasnya amat susah dilakukan. Lebih mudah halnya dengan Pulau Weh dengan penempatan sejumlah kecil pegawai Bea dan Cukai penjagaan yang relatif cukup dapat dilakukan.

pelabuhan sabang tempo dulu

 

Pelabuhan Sabang Pulau Weh

Pulau Weh dengan Sabang sebagai pelabuhannya senantiasa mempunyai arti sebagai pusat penyelundupan, ketika ini ditujukan sebagai saingan terhadap pelabuhan bea Singapura. Sebelum perang dunia yang terakhir, penyelundupan ke daerah pabean Indonesia (daratan Sumatera Utara) dari Pulau Weh dilakukan terus-menerus.

Dewasa ini, walaupun tidak begitu luas, Pulau Weh ini digunakan sebagai pangkalan perantara untuk penyelundupan dari Sumatera Utara ke luar. Oleh karena letaknya di jalur pelayaran utama, Sabang merupakan tempat yang terbaik sebagai pelabuhan pemeriksaan pelayaran dari dan ke Sumatera Utara. Di dalam peraturan pelayaran (scheepvaart Reglement), pelabuhan ini ditunjuk sebagai pelabuhan laut (zeehaven), sedang diantara pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh hanya satu, yaitu Lhokseumawe yang merupakan pelabuhan laut.

Pemasukan Pulau Weh dalam daerah Pabean dimaksudkan untuk :

  1. Meniadakan kemungkinan pulau ini digunakan sebagai tempat timbunan barang-barang selundupan
  2. Memasukkan pelabuhan Sabang sebagai pusat pemeriksaan atas perdagangan ke dan dari Sumatera Utara.

Kemudian pada tahun 1964 dengan Penetapan Presiden No. 22 tahun 1964 Pulau Weh ditetapkan sebagai daerah bebas dan Sabang sebagai pelabuhan bebas, yang disahkan kemudian dengan Undang-Undang N0. 4 tahun 1970. Ketentuan-ketentuan pokok perihal daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas ditetapkan dalam Undang-Undang N0. 3 tahun 1970, berfungsi sebagai berikut :

  • Mengusahakan penyediaan barang-barang konsumsi (stockpiling) da produksi untuk perdagangan impor, ekspor, reekspor maupun industri
  • Melakukan peningkatan mutu (upgrading), pengolahan (processing manufacturing), pengepakan ulang (re-packing) dan pemberian tanda dagang (trade marking)
  • Menumbuhkan dan mengembangkan industri, lalu lintas perdagangan dan perhubungan.
  • Menyediakan dan mengembangkan serta melancarkan sarana dan fasilitas pelabuhan, mengembangkan pelayaran, perdagangan transito dan sebagainya.
  • Mengusahakan dan mengembangkan kegiatan-kegiatan lainnya, khususnya dalam sektor perdagangan, maritime, industri perhubungan dan perasuransian.

Pelabuhan Sabang Pulau Weh

Setelah Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang dinyatakan terbentuk, maka pelaksanaannya sejak awal dianggap mandiri sehingga akan dapat membiayai seluruh aktivitasnya dari hasil-hasil sumber pendapatannya dengan persetujuan Pemerintah. Bersamaan dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1970 pada tanggal 27 Maret 1970 itu oleh Pemerintah Republik Indonesia telah ditetapkan juga Undang-Undang No. 4 tahun 1970 tentang Pembentukan Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas itu. Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1965, wilayah ini sama dengan Wilayah Kota Madya Sabang tanpa Pulau Rondo. Batas-batas perairannya adalah perairan yang termasuk batas-batas Bandar (redegrenzen) pelabuhan laut Sabang yang telah ada.

Setelah berlakunya Undang-Undang tersebut di atas tadi, ternyata banyak terjadi penyalahgunaan/ pelanggaran, baik berbentuk penyelundupan fisik maupun dalam bentuk penyelundupan administratif dari Pelabuhan Bebas Sabang ke dalam daerah pabean. Sebelum diberangkatkan, terlebih dahulu dikenakan retribusi dan pungutan-pungutan lain yang besarnya sama dengan besarnya bea masuk dan pungutan-pungutan lain bagi barang-barang yang diimpor secara normal.

Salah satu tujuan pokok Keppres No.47 tahun 1971 itu adalah menyelamatkan bea masuk atas barang-barang yang dikirim dari Pelabuhan Bebas Sabang ke daerah Pabean yang sebelumnya Keppres itu diterbitkan sebagian besar bea masuknya tidak terpungut akibat barang-barang eks Pelabuhan Bebas Sabang itu banyak sekali dimasukkan ke daerah Pabean dengan cara yang tidak sah (diselundupkan). Tindakan Pemerintah itu telah memulihkan penerimaan negara, meskipun harus diakui, bahwa penyelundupan belum berhasil untuk ditiadakan seluruhnya.

Selanjutnya dengan Keputusan Presiden No .4 tahun 1982, ditetapkan perubahan atas Keputusan Presiden No .47 tahun 1971 tentang cara pungutan retribusi terhadap barang-barang yang berasal dari luar negeri yang akan dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia dari Daerah Perdagangan Bebas melalui Pelabuhan Bebas Sabang.

Karena Pelabuhan Bebas Sabang ternyata tidak berfungsi sesuai UU No. 3 dan 4 tahun 1970, maka akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1985 oleh Pemerintah RI ditetapkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 1985 tentang “Pencabutan Undang-Undang Nomor.4 tahun 1970 mengenai Pembentukan Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang”. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan memberikan rangsangan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dalam negeri.

Dengan dibentuknya Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang, ditinjau secara regional maupun secara nasional tidaklah tercapai. Selain dari pada itu Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang itu telah menimbulkan pelbagai dampak yang tidak menguntungkan. Tambahan pula wilayah di sekitar Sabang khususnya Aceh Utara , telah berkembang pesat sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi, udara, komunikasi dan berbagai fasilitas lainnya, sehingga peranan Sabang tidak lagi menguntungkan secara ekonomi dan sosial maupun mau pun dari segi keamanan.

Berhubung dengan itu, dari Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang kemudian diarahkan untuk dikembalikan statusnya sebagai wilayah yang termasuk dalam daerah pabean Indonesia. Selanjutnya keluarlah Keputusan Presiden No. 2 tahun 1986 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1971 dan Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1982, dan pada tanggal 22 Januari 1986 berakhirlah Daerah Perdagangan Bebas dengan Pelabuhan Bebas Sabang. Di tahun 1993 Posisi Sabang mulai diperhitungkan kembali dengan dibentuknya Kerja sama Ekonomi Regional Indonesia Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT). Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan tanggal 22 Januari 2000 diterbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 2000 tentang pelabuhan bebas Sabang.

4 Pelabuhan di Aceh Pusat Perekonomian Masyarakat

Pemerintah Daerah Aceh akan memprioritaskan 4 pelabuhan lain sebagai pusat ekonomi masyarakat Aceh dengan membuka jalur ekspor-impor. Selama ini ke empat pelabuhan tersebut seperti mati suri dan tidak ada lagi kegiatan ekspor-impor komoditi barang dari dan ke Aceh.

Empat pelabuhan di Aceh tersebut adalah:

  1. Pelabuhan Umum Krueng Geukeuh di Aceh Utara
  2. Pelabuhan Kuala Langsa di Kota Langsa
  3. Pelabuhan Malahayati di Krueng Raya
  4. Pelabuhan Susoh di Aceh Barat Daya (Abdya).

Selain Sabang, empat pelabuhan tersebut memiliki potensi sebagai jalur pelayaran dunia yang akan mampu meningkatkan ekonomi di provinsi Aceh pada masa mendatang. Hal ini disebabkan Aceh berada pada posisi sangat strategis dalam jalur pelayaran internasional dan sebagai pintu gerbang Indonesia wilayah barat. Posisi tersebut harus dimanfaatkan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pelabuhan Malahayati Aceh
Pelabuhan Malahayati (suaracargo.com)

Untuk menghidupkan kembali 4 pelabuhan tersebut Gubernur Aceh sudah menyampaikan kepada Pemerintah agar Pemerintah Pusat memberikan izin yang seluas-luasnya untuk kegiatan ekspor-impor di Aceh.

 

Sejarah Pelabuhan Bebas Sabang -Sumber : Pertumbuhan dan Perkembangan Bea dan Cukai Dari Masa Ke Masa

Topik: #kawasan #pelabuhan #sejarah