Dalam politik di Indonesia terdapat istilah Golongan putih atau yang disingkat golput untuk kelompok yang menolak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Namun, kelompok atau orang yang tidak menggunakan hak pilih pada pemilu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan hampir terjadi di belahan dunia, terutama di negara-negara maju.

Gejala menolak menggunakan hak pilih (Golput) telah mengglobal akibat krisis kepercayaan terhadap institusi negara, terhadap janji-janji dan idealisme nasionalisme, terhadap partai politik. Golput jelas terlihat di berbagai negara yang lebih awal membangun modernisasi liberal dan lebih awal mengecewakan warganya.

Bahkan Di Amerika Serikat, yang lantang bersuara soal demokrasi, peserta pemilu berkisar 55-60 persen, yang artinya 40 persen adalah “golput”. Sedangkan di Australia, para pemilih diwajibkan ikut pemilu dan diancam pidana apabila dengan sengaja menghindar untuk tidak memilih.

Tampaknya tidak semua orang suka demokrasi dan harus dipaksa. Kelompok yang berpeluang tak menggunakan hak pilih di antaranya kalangan aktivis, kelas menengah ke atas, dan orang berpendidikan tinggi.

Di Indonesia, umumnya gerakan golput merupakan bentuk kekecewaan terhadap wakil partai politik maupun pasangan calon kepala pemerintahan yang dianggap tidak mempedulikan aspirasi mereka, sehingga abstain dalam pemilu.

Namun keputusan abstain dalam pemilu dengan tidak datang ke tempat pemungutan suara tidak hanya karena pertimbangan ideologis. Ada juga golput administratif yaitu tidak dapat memilih di bilik suara karena kesalahan administrasi dari penyelenggara pemilu, misalnya, tidak memperoleh undangan memilih (formulir C-6).

Sejarah Golput di Indonesia

Kelompok Golongan Putih (Golput) dicetuskan menjelang Pemilihan Umum 1971 oleh sejumlah cendekiawan yang dibesarkan pada masa Orde Baru, di Jakarta.

Sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru, di Balai Budaya Jakarta pada 3 Juni 1971, Arief Budiman, Julius Usman, Imam Walujo, Husin Umar, dan Asmara Nababan mendeklarasikan sebuah gerakan moral dengan menyatakan tidak akan turut dalam pemilu.

Mereka berpendapat bahwa dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI (Sekarang TNI). Dengan demikian gerakan tersebut merupakan semacam mosi tidak percaya terhadap semua kontestan pemilu atau sistem pemilihan umum secara keseluruhan dan pesan politik yang bertujuan mengurangi atau menolak keabsahan pemilihan umum.

Selain itu, gerakan golput bukan bertujuan untuk mencapai kemenangan politik, melainkan lebih bertujuan untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun.

Penggunaan istilah Golongan Putih (golput) dicetuskan oleh Imam Waluyo untuk “menembak” nama partai penguasa Golongan Karya (Golkar). Termasuk membuat logo yang mirip yaitu logo segi lima, tetapi di tengahnya kosong berwarna putih. Selain itu, mereka juga memasang logo golput di tempat umum yang juga terpasang partai peserta pemilu.

Akhirnya kampanye tersebut langsung mendapat respons dari aparat penguasa dan melakukan propaganda yang melabeli pendukung golput bukan warga negara yang baik. Bahkan Menteri Luar Negeri pada saat itu, Adam Malik, menyebut golput sebagai golongan setan.

Kelompok Golput bukan memboikot pemilu dan tidak mendorong orang pasif serta menjauh dari pemilu. Mereka justru meminta masyarakat aktif datang ke tempat pemungutan suara, namun untuk mencoblos bagian kertas suara yang putih, bukan gambar partai salah satu kontestan.

Golongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral berisi seruan agar masyarakat menggunakan haknya dengan keyakinan. Siapa pun dipersilakan memilih atau tidak memilih. Kalau ada yang merasa lebih baik tidak memilih daripada memilih, bertindaklah atas dasar keyakinan itu pula. Mereka pun berpandangan bahwa golput tidak bisa dipidanakan.

Perkembangan Golongan Putih

Bagaimana perkembangan Golongan Putih (golput) saat ini? Hampir setengah abad usia kelompok ini ada, meskipun saat ini istilah golput agak basi karena tidak lagi menghadapi satu partai raksasa Golkar sebagai musuh utama dalam pemilu. Namun Golput saat ini menghadapi sesuatu yang lebih rumit, lebih samar, dan tidak lenyap dalam waktu dekat.

Banyak tokoh-tokoh Indonesia menyerukan kepada sejumlah pegiat hak asasi manusia yang terang-terangan memutuskan menjadi bagian dari golongan putih (golput) bahwa pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md menyatakan golput merugikan karena memberikan peluang bagi orang yang pilihannya lebih buruk. Mahfud mengajak publik memilih calon terbaik. Hak pilih itu hadiah konstitusi.

Dengan ikut golput akan memiliki resiko yaitu pemerintah dan legislator yang terpilih untuk periode mendatang bakal mengabaikan tuntutan kelompok yang abstain dalam pemilu.

Namun, yang terjadi adalah semakin banyak sekelompok aktivis mendeklarasikan bahwa golput merupakan ekspresi politik yang tak bisa dipidanakan. Bahkan di media sosial, topik tentang golongan putih atau golput (kelompok yang menolak menggunakan hak pilih) terus menggema.

Potensi golput “ideologis” pada Pemilihan Umum selalu meningkat dan bisa melonjak pada hari pencoblosan. Hal ini bisa disebabkan masyarakat masih merasakan “aroma” Orde Baru yang menjadikan mereka sebagai “massa mengambang” yang apolitis.

Meskipun pada tahun 1998 terjadi reformasi, namun bukan revolusi. Orde Baru pun me-reformasi diri dengan ganti baju, ganti penampilan, ganti slogan, agar dapat mempertahankan kedudukan dan hak-hak istimewa sebagaimana masa Orde Baru. Maka wajar jika semangat golput terus berkobar.

Dengan sosok lama tampang baru, elite politik pasca Orde Baru tidak pernah punya atau berminat pada suatu visi dan misi untuk Indonesia jangka panjang. Tidak mengherankan bila kaum politikus berpindah-pindah partai politik atau bertukar sekutu. Awas Terjebak Bahaya Elektoralisme

Barangkali Pemilu 1955 merupakan pemilu yang demokratis dimana para elit politik melakukan pertarungan visi dan misi untuk masa depan Indonesia. Kalaupun ada satu-dua tokoh elite yang peduli dan berkiblat kerakyatan, mereka tidak mampu berbuat banyak. Waktu dan tenaga mereka terkuras dalam pergulatan habis-habisan melawan sesama elite di kubu lain

Dengan adanya kelompok golput seharusnya menjadi pelajaran bagi semua elite politik, khususnya pimpinan partai, untuk lebih tanggap pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat umum, terutama kelompok rentan, bukan sibuk bermusuhan dengan elite pesaingnya.

 

Sejarah Munculnya Golongan Putih (Golput) di Indonesia

Topik: #masyarakat #pemerintah #politik #sejarah