Globalisasi dapat dipandang sebagai sesuatu fenomena yang kontroversial. Teknologi modern memungkinkan orang untuk melakukan perjalanan dengan cepat dan sangat mudah. Dunia menjadi sangat kecil, dan bahkan berada dalam “genggaman” manusia yang tidak pernah terbayangkan pada abad sebelumnya. Sejarah menunjukkan bahwa menjadi kodrat manusia untuk selalu berpindah, hidup berkelompok, berbangsa dan bernegara.

Dalam era globalisasi, traveling and living abroad menjadi lebih dari sekedar “standar hidup baru” dan sekadar perkecualian anak-anak muda yang bersekolah negara lain. Arus perpindahan orang, ide/ gagasan, konsep, ideologi dan cara pandang luar mengalir sangat deras baik secara sengaja didesain melalui pendidikan, maupun melalui media dan seni.

Meskipun globalisasi sering disalahpresepsikan hanya sebatas fenomena ekonomi, tetapi sebenarnya globalisasi merupakan proses interkoneksi politik, sosial dan budaya dimana manusia on all frontier dipaksa mengubah “mind-set, ideology” secara radikal atau “menerima dan dunia baru” yang kadang tidak cocok dengan dunianya. Di sinilah letak kontroversial dari globalisasi yang bukan sekadar fenomena ekonomi semata, tetapi menyangkut social, budaya dan politik.

Indonesia Di Tengah Era Globalisasi

Globalisasi sebagai “value” karena tidak saja merupakan proses integrasi ekonomi, pasar dan capital tetapi juga merupakan integrasi sosial budaya. Aktor utama dari globalisasi ini tidak lain adalah “teknologi informasi” yang memungkinkan perubahan sosial budaya secara radikal. Dalam post-industrial ,information besedsosiety ,ilmu pengetahuan/knowledge, information value menjadi driving force society dan bukan lagi teknologi industri.

Saat ini kecepatan kuantitas dan informasi mengalami peningkatan sangat tinggi. Setiap kejadian di belahan dunia manapun diikuti perkembangannya oleh orang di seluruh dunia. Informasi benar-benar telah menjadi ”the most powerful weapon” dalam “perang modern” dalam arti luas. Colonialism tidak akan pernah mati, meminjam istilah Ir. soekarno (18 april 1955) dalam Pidato KAA Bandung “do not think of colonialism in the classic form which we know; colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control by small alien community within nation.”

Sangat relevan bagi kita untuk introspeksi sejenak atas peringatan founding father enam puluh tiga tahun yang lalu. Kini colonialism tidak perlu dalam arti “real occupation“ melainkan secara tidak langsung mengendalikan dan bahkan menciptakan ketergantungan yang tinggi.

Hegemoni negara adidaya tanpa disadari telah masuk terlalu dalam kedalam jantung suatu ketahanan negara. Oleh sebab itu menjadi sangat relevan cita-cita pemerintah saat ini untuk mewujudkan “kedaulatan bidang politik, kemandirian bidang ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan.”

Kita menyadari bahwa hingga saat ini ketergantungan kita masih begitu tinggi dan kemandirian masih jauh dari realita. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa diperlukan “revolusi mental”. Revolusi mental adalah suatu paradigma pembangunan manusia yang bertumpu pada nation and character building.

Revolusi sebagai gerakan kolektif, membutuhkan peran aktif seluruh bangsa yang dilakukan dengan memperkuat semua institusi pemerintahan dan pranata sosial budaya yang ada di masyarakat. Oleh karena itu , Revolusi Mental hanya akan menjadi kata-kata tanpa pelaksanaan apabila tidak didukung oleh seluruh komponen masyarakat.

Revolusi Mental Suatu Keniscayaan

Revolusi mental merupakan proses berkesinambungan dan tiada akhir sepanjang bangsa ini mengalami perubahan. Generasi silih berganti dan peradaban terus berkembang. Perubahan peradaban tidak bersifat linier, tetapi justru mengikuti deret ukur. Hal ini didorong oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Nilai-nilai budaya menembus batas negara dan bangsa dan akibatnya tidak jarang terjadi benturan antara nilai peradaban suatu bangsa dengan nilai dari bangsa lain. Menjadi lebih buruk lagi jika justru by design suatu bangsa ingin menghancurkan peradaban bangsa lain dengan menggelontorkan nilai-nilai baru meskipun tidak cocok dengan nilai/budaya setempat.

Bagi bangsa Indonesia geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional. Oleh karena itu geostrategi Indonesia sebagai suatu acara atau metode dalam memanfaatkan segenap konstelasi geografi negara Indonesia dalam Menentukan kebijakan, arahan serta sarana-sarana dalam mencapai tujuan seluruh bangsa dengan berdasar asas kemanusiaan dan keadilan sosial.

Negara berlomba-lomba mencari cara baru mengimplementasikan geostrategis untuk mempertahankan “ruang hidup” atau “kolonisasi negara lain”. Memanfaatkan keunggulan competitive penguasaan teknologi informasi, suatu negara mampu “mengubah mindset” bangsa lain.

Bahkan lebih buruk lagi, suatu negara yang memiliki keunggulan informasi mampu ”mengganti” pemerintah yang legitimate sekalipun. Arab spring misalnya secara jelas tampak bagaimana campur tangan dengan negara lain dan muaranya tidak lebih pada kepentingan ekonomi dalam rangka memperluas “ruang hidup”.

“Demokrasi, liberalisasi dan hak asasi manusia “digunakan sebagai platform dunia modern dengan penguasaan “ruang hidup” dan capitalism sebagai satu mainstream dengan “one world system”. Globalisasi menjadi semacam “institusionalisme pasar dunia”.

Ancaman terhadap budaya lokal dan hilangnya etnik tampaknya tak terhindarkan. Menjadi tugas bersama untuk memastikan agar bangsa Indonesia tidak kehilangan jati dirinya. Identitas/jati diri bangsa menjadi penting karena tiga alasan yakni sebagai englightened subject, sociological subject dan postmodern subject.

Perubahan peradaban membawa konsekuensi pergeseran identitas melalui proses ”dialog” antara masyarakat dengan komunitas lingkungan hidupnya. Jadi identitas memang akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perubahan lingkungan.

Agar bangsa Indonesia tidak kehilangan Pancasila sebagai jati dirinya, maka pertanyaan mendasar adalah bagaimana menemukan coherence antara nilai-nilai Pancasila dengan nilai-nilai baru. Dunia menunjukkan adanya kecenderungan makin besar cultural differentiation and complexity.

Dengan mobilitas yang tinggi, maka tidak mungkin suatu bangsa memiliki beragam budaya dan multiple identity, dan identity menjadi “never finished”. Dalam konteks geostrategi, ketahanan sosial budaya menjadi sangat strategis di tengah cepatnya perubahan dunia.

Akhir-akhir ini muncul kerisauan akan rendahnya penghayatan nilai-nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa. Hal ini disebabkan karena kurangnya keteladanan dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi karakter bangsa. Perlu diingat kembali bahwa “education has its own object for character formation”, demikian kata seorang philosof terkenal Herbert.

 

Ditulis Oleh : Prof.Dr.R. Agus Sartono, MB

 

Indonesia Di Tengah Perubahan Peradaban Dunia

Topik: #global #Indonesia #revolusi #sosial