Latar belakang Program Gerakan Peningkatan Produktivitas Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) adalah menekankan kepada hasil/produktivitas pertanian agar supaya mendapat keuntungan dari suatu kegiatan pertanian.  Untuk itu Kementerian BUMN mengembangkan GP3K dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan.

Kilas Balik Pembangunan Sektor Pertanian

Mantan presiden RI, Soeharto, berpandangan bahwa petani tidak akan sejahtera tanpa campur tangan negara melalui program pembangunan perekonomian yang bertumpu pada sektor agraria. Maka, keluarlah berbagai kebijakan yang mengarah pada revolusi pangan, yang dituangkan kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita I (1969-1974) dengan sektor pertanian sebagai prioritas utama, kemudian Repelita II (1974-1979), yang fokus pembangunan di luar Pulau Jawa, Bali, dan Madura, dengan tetap mengedepankan sektor pertanian.

Bonanza minyak yang terjadi saat itu dimanfaatkan pemerintah untuk melakukan investasi secara besar-besaran untuk mendukung pembangunan sektor pertanian. Demi mendukung Repelita I dan II, salah satunya adalah pembangunan pabrik pupuk untuk memfasilitasi pengadaan pupuk, yang melatarbelakangi sebuah komitmen untuk melanjutkan pendirian Pabrik Petrokimia.

Selain pabrik pupuk, pembangunan infrastruktur pertanian lainnya juga dibangun seperti waduk, bendungan, dan irigasi. Diantaranya adalah Waduk Mrica Gajah Mungkur dan Kedung Ombo di Jateng, kemudian Bendungan Karang Kates di Jatim, Bendungan Riam Kanan dan Riam Kiwo di Kalimantan dan Bendungan Asahan di Sumatera. Jalan-jalan di pedesaan diperbaiki dan dimulai pula program listrik masuk desa.

Kemudian, diperkenalkan pula manajemen usaha tani melalui program intensifikasi massal (Inmas) dan bimbingan massal (Bimas) untuk meningkatkan produksi pertanian. Bibit unggul padi diberikan, teknologi tanam juga diterapkan sehingga jika secara tradisional sawah-sawah biasanya hanya menghasilkan satu kali panen dalam setahun, maka sejak saat itu panen padi bisa berlangsung dua hingga tiga kali dalam setahun.

Pada waktu itu rata-rata petani hanya memiliki setengah hektare dan kemampuan penguasaan teknologi tanam juga belum banyak dikuasai kecuali bercocok tanam secara tradisional. Pemerintah pun mencetak sejumlah tenaga penyuluh pertanian, membentuk unit-unit koperasi untuk menjual bibit tanaman unggul, menyediakan pupuk kimia dan juga insektisida untuk membasmi hama.

Sistem pengairan diperbaiki dengan membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak sawah yang semula hanya mengandalkan air hujan, kini bisa ditanami pada musim kemarau dengan memanfaatkan sistem pengairan. Lahan-lahan percontohan pun dibangun, kelompok petani dibentuk di setiap desa untuk mengikuti Bimas dari para penyuluh pertanian.

Pemerintah juga menelurkan program Kelompok Pemirsa, Pembaca, dan Pendengar (Kelompencapir) sebagai wadah pertemuan yang mengikutkan petani dan nelayan berprestasi dari berbagai daerah untuk saling berbagi pengetahuan seputar pertanian, seperti cara bertanam, memupuk, dan sebagainya.

Bukan hanya lewat tatap muka, tetapi juga disiarkan melalui radio dan televisi bahkan juga sejumlah media cetak menyediakan halaman khusus untuk koran masuk desa dengan muatan materi siaran yang khas pedesaan, membimbing petani.

Indonesia berhasil mencapai swasembada beras

Swasembada Beras di Indonesia

Pencanangan program pembangunan sektor pertanian yang dikenal sebagai “Revolusi Hijau” ini mampu mendongkrak peningkatan produksi beras secara besar-besaran dan sanggup memenuhi permintaan dalam negeri. Saat itu, budi daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia

Puncaknya adalah pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras dan meraih surplus produksi beras hingga sanggup pula membantu rakyat Afrika yang kala itu sedang dilanda kelaparan. Bantuan gabah sebanyak 100.000 ton itu dikumpulkan secara gotong royong dan sukarela oleh petani di Indonesia.

Bantuan antar petani ini merupakan sejarah yang pertama kali terjadi di dunia, sekaligus merupakan indikasi, keberhasilan pertanian saat itu di Indonesia. Informasi terkait tentang Pemberdayaan Petani dan Pemenuhan Haknya.

Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang kekurangan pangan dan impor beras menjadi negara yang mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Bila produksi beras di tahun 1969 hanya sekitar 12,2 juta ton, pada tahun 1984 produksi beras telah mencapai 25,8 juta ton.

Keberhasilan ini mengantarkan Indonesia meraih penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization atau Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. Hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan dan memperkecil tingkat ketimpangan antar masyarakat desa dan kota di Indonesia walau pada saat yang sama ada penurunan tingkat harga produk pertanian.

Krisis Ekonomi dan Moneter

Namun seiring perjalanan waktu, sejak tahun 1990-an sektor pertanian di Indonesia mengalami kemunduran. Julukan sebagai negara agraris yang subur, gemah lipah loh jinawi sedikit terkoyak. Produksi pangan menurun drastis dengan kecenderungan impor pangan meningkat seiring imbas krisis moneter tahun 1998 yang terus merembet. Saat itu Indonesia mengimpor beras sekitar 5 juta ton. Satu kondisi yang mencemaskan ketahanan pangan nasional.

Sejak saat itu, ada keinginan untuk mengurangi impor beras dan swasembada beras. Satu-satunya jalan agar tidak impor beras produksi dalam negeri harus meningkat. Jika produksi dalam negeri ingin ditingkatkan, maka petani harus bergairah dalam berproduksi. Petani akan bergairah jika mendapatkan keuntungan.

Di sisi lain, pada saat itu Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF yang salah satu poinnya adalah menghilangkan semua hambatan impor. Selain itu, di pasar dunia pasokan pangan berlebihan yang mengakibatkan harga pangan dunia rendah sekali sehingga mengimpor sangat menguntungkan bagi Indonesia

Indonesia kemudian meyakinkan IMF, bila tidak menerapkan kebijakan proteksi melalui tarif masuk, maka ketahanan pangan Indonesia akan bermasalah dalam jangka panjang bila mengimpor selama terus menerus, sedangkan dalam jangka pendek tidak menjadi masalah.

Seperti yang diketahui harga beras internasional yang rendah disebabkan banyaknya subsidi yang diberikan oleh negara produsennya, sedangkan Indonesia dilarang mensubsidi dan membuat tarif masuk. Usaha meyakinkan IMF pun berhasil

Namun, tarif impor saja tidak cukup karena harga beras dalam negeri sudah tinggi. Indonesia juga menerapkan harga pembelian pemerintah (HPP). HPP berdasarkan harga internasional yang rendah ditambah tarif masuk sehingga HPP relatif sama dengan harga beras dalam negeri yang tinggi. Dengan ditetapkan HPP itu pun ternyata petani juga belum cukup bergairah. Sehingga Indonesia memutuskan untuk memberikan subsidi pupuk agar mengurangi biaya produksinya. Biaya produksinya dikurangi dan harga panen dinaikkan melalui HPP sehingga margin petani menjadi lebih besar.

Maka mulai diterapkan subsidi pupuk di era tahun 2000-an. Di sini peran Petrokimia Gresik (PG) tidak dapat dipandang sebelah mata. Pada program pemberian subsidi pupuk kepada petani, PG mendapatkan tugas dari pemerintah untuk menyalurkan pupuk subsidi. Mulanya hanya subsidi untuk Urea, TSP, dan ZA, tapi belakangan juga mencakup untuk berbagai jenis pupuk seperti pupuk SP-36, pupuk majemuk dan pupuk organik (Petroganik).

Dengan cara subsidi ini petani akan membayar harga pupuk lebih rendah daripada harga internasional. Jadi pabrik pupuk tidak dirugikan tetapi petani memperoleh keuntungan. Pada saat itu subsidi pupuk hanya sekitar Rp 2 triliun, umumnya hanya untuk padi, tebu, dan jagung. Dengan kebijakan ini, produksi beras naik sehingga pada 2004 Indonesia tidak perlu mengimpor beras lagi. Kecuali beras bantuan internasional yang sudah direncanakan jauh sebelumnya dan jumlahnya pun sangat kecil. Indonesia membuat kebijakan proteksi dengan tarif masuk sekaligus promosi melalui subsidi pupuk untuk menjawab keadaan krisis ekonomi dan moneter saat itu.

Namun ketika terjadi perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), gagal panen beberapa komoditas pangan melanda hampir di seluruh pelosok dunia dan berpengaruh signifikan bagi keamanan stok pangan dunia. Perubahan iklim ekstrem membuat produksi pangan terjun bebas di tengah permintaan yang terus naik.

Krisis pangan merata hampir di seluruh dunia. Negara-negara produsen cenderung mengamankan produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Itulah saat dimana banyak pihak mulai menyadari betapa pentingnya untuk meningkatkan stok pangan nasional melalui kebijakan yang komprehensif agar para petani berpendapatan. Jika mereka berpendapatan, motivasi berproduksi menjadi tinggi.

Program Gerakan Peningkatan Produktivitas Pangan Berbasis Korporasi (GP3K)

Kondisi inilah yang kemudian memotivasi pemerintah memacu peningkatan produksi komoditas pangan. Atas instruksi presiden, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bersama Kementerian Pertanian kemudian menggagas Program Gerakan Peningkatan Produktivitas Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) yang melibatkan sejumlah BUMN seperti Perum Perhutani, PT Sang Hyang Seri, PT Pusri Holding (kini PIHC) dan PT Inhutani. Tanam padi perdana GP3K dilaksanakan di Desa Kauman, Kec Baureno, Kab Bojonegoro justru pada 28 Juni 2011. Program GP3K dalam rangka program ketahanan pangan nasional dengan target surplus beras nasional 10 juta ton dalam kurun waktu 2011-2014.

Sinergitas di program GP3K menjadi tumpuan dari keberhasilannya. Petani menyediakan lahan dan menggarap, sedangkan BUMN melakukan pengawalan dan menyediakan modal pengolahan lahan, benih, pupuk dan pestisida. Dengan program GP3K ini diharapkan terbangun sistem pertanian pangan yang sangat kuat, terpadu, sinergi antara hulu dan hilir yang dapat dijadikan sebagai sumber cadangan pangan nasional.

Program GP3K dilakukan melalui dua pendekatan yaitu optimalisasi lahan sawah dan optimalisasi lahan kering. Pola kerja sama BUMN dengan petani adalah Pola Yarnen (Bayar Panen), satu pola yang sebetulnya sudah dirintis PG dalam program kemitraan antara PG, petani dan distributor pupuk di Bojonegro, Jawa Timur, jauh sebelum program GP3K diluncurkan. Pola Yarnen ini memungkinkan seluruh kebutuhan sarana produksi petani dibantu dalam bentuk pinjaman natura dan innatura yang selanjutnya dikembalikan atau dibayar petani setelah panen.

Adapun sumber pembiayaan direncanakan dari dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Dalam program GP3K ini disiapkan lahan seluas 569.264 ha secara nasional, sumber pembiayaan total mencapai sekitar Rp 2 triliun. Sedangkan sumber pembiayaan diperoleh dari program kemitraan sebesar Rp 1,1 triliun, pembinaan kemitraan Rp 165 miliar, bina lingkungan Rp 420 miliar dan pembiayaan dari program kredit ketahanan pangan dan energi (KKP-E) sebesar Rp 747,737 miliar. Sasaran tanam GP3K akan memberi dukungan menghasilkan 5,33 persen padi dari sasaran nasional. Jagung akan memberikan kontribusi 6,82 persen sasaran nasional, kedelai 4,01 persen sasaran nasional.

Selain memberi kontribusi pada peningkatan produksi, GP3K juga dapat mendukung Perum Bulog dalam menyediakan cadangan beras pemerintah. Dalam sinergi ini PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani menyiapkan benih unggul padi (hibrida dan non hibrida), jagung (hibrida dan non hibrida), kedelai non hibrida. Perum Jasa Tirta I dan II memastikan ketersediaan air baku yang cukup untuk mendukung irigasi pertanian di Pulau Jawa. Selanjutnya Perum Perhutani, PT Inhutani, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) menyiapkan lahan baru untuk budidaya pangan secara tumpang sari bekerja sama dengan masyarakat. Sedangkan Perum Bulog menjamin petani memperoleh pasar dengan harga yang wajar, rumah tangga miskin memperoleh beras dengan jumlah, mutu, harga, waktu dan tempat yang tepat, ketersediaan pangan bermutu dan aman secara efisien bagi masyarakat

Dalam program GP3K ini, PG mengambil peran memproduksi dan mendistribusikan pupuk bersama dengan produsen pupuk lainnya seperti PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang dibawah koordinasi PT Pupuk Indonesia selaku induk perusahaan (holding).

Sumber: Gema PT Petrokimia Gresik

 

Kilas Balik Gerakan Peningkatan Produktivitas Pangan Berbasis Korporasi

Topik: #pertanian #sejarah