Pengertian istilah “elektoralisme” untuk menggambarkan suatu kondisi dan praktik demokrasi yang didominasi oleh urusan elektoral dan mengorbankan tatanan nilai sosial kultural hanya untuk kepentingan menang-kalah dalam Pemilu.

Apakah politik elektoral memang hanya sebatas menang-kalah? Bagi kaum realis, terutama barisan pragmatis, politik itu hanya urusan citra. Maka yang disasar adalah bagaimana membangun persepsi di kepala pemilih yang pada waktunya menggerakkan tiap orang untuk menentukan pilihan di balik bilik suara.

Praktik demokrasi yang terlalu menekankan prosedur Pemilu ketimbang output dari proses itu oleh para ahli disebut “demokrasi elektoral”. Ada fenomena yang lebih buruk dari sekadar “demokrasi elektoral” yaitu praktik politik yang menjadikan Pemilu sebagai tujuan pada dirinya

Ada penggerusan peradaban yang dijustifikasi oleh prinsip “kebebasan demokratik” yang sebetulnya hanya alibi yang dibangun oleh para pecundang untuk membenarkan praktik politik yang bobrok. Demokrasi dijadikan kuda troya untuk mengusung kepentingan ekonomi dan politik yang justru bertentangan dengan prinsip demokrasi sendiri. Seolah-olah demokrasi hanya soal pemilu.

Pada aras akar rumput, Pemilu menjadi fenomena yang rumit karena ada permainan politik pemanfaat fitnah dan kebencian yang di diseminasi melalui media sosial dan jejaring teknologi yang bergerak begitu cepat. Fenomena ini lebih dari sekadar gejala post-truth society, masyarakat pasca-fakta.

Hoax, sebaran kebencian, dan fitnah yang menandai perkembangan demokrasi kita belakangan adalah bagian dari metode kampanye hitam (black campaign) yang memang terjadi juga dalam sejarah.

Pemilu Amerika setelah Perang Vietnam didominasi oleh model kampanye negatif yang berlebihan sehingga orang sulit membedakan mana negative campaign (yang berbasis data) dan mana black campaign (yang berbasis fitnah dan hasutan),

Bagi kaum subtansialis, terutama yang moralis, politik itu soal kemaslahatan umum (bahasa Ali Syari’ati) atau bonum commune dalam tradisi Latin yang disebarluaskan oleh Markus Aurelius Augustinus atau yang dikenal dengan nama “Santo Agustinus” (354-430 M) dalam karyanya berjudul Civitas Dei. Agustinus membayangkan sebuah konteks hidup yang ideal, yang di dalamnya kebajikan moral menjadi nilai fundasional dari kehidupan bersama.

Di zaman modern Hannah Arendt salah satu filsuf yang mementingkan aspek moral dari politik ketimbang aspek kontestasi yang sifatnya pragmatis—yang justru menjadi dalil pokok dalam pandangan kaum pragmatis seperti Laswell (1902-1978) dan Schumpeter (1883-1950).

Bagi Arendt, kualitas tindakan manusia tidak ditentukan baik oleh motif maupun oleh konsekuensi dari tindakan melainkan oleh prinsip dari tindakan an sich yang disebutnya “the criterion of greatness” (Arendt, 1958; Hargens, 2018). Yang dimaksud “the greatness” mengacu pada prinsip moral dari tindakan.

Implikasinya, tindakan politik ditakar berdasarkan bobot moral dari tindakan itu sendiri. Arendt dan kaum moralis umumnya relatif terabaikan dalam kajian politik kontemporer karena dominasi pendekatan pragmatisme dalam praksis politik kekinian.

Sebaliknya, Laswell memahami politik sebatas urusan merebut kekuasaan. Ia bahkan dengan sinis membatasi politik sebagai who gets what, when, and how (siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana). Profesor yang dikenal dengan sebutan “one-man university” ini memang dipengaruhi mazhab pragmatisme semenjak belajar di Universitas Chicago pada dekade 1920an.

Lasswell selalu menggunakan tiga perspektif dalam memahami realitas sosial-politik: personalitas, struktur sosial, dan kultur. Tiga kombinasi yang menyempurnakan watak pragmatis seorang Lasswell, tetapi juga membuat bacaannya lebih akurat dan kontekstual hingga hari ini.

Tak ada yang menyangkal, politik hari ini pun sebatas libido kekuasaan. Medan politik bergeser dari ranah moral menjadi pasar kepentingan seperti dalam anggapan Schumpeterian.

Joseph Alois Schumpeter (1883-1950), pemikir ekonomi-politik Austria abad ke-20 yang berpindah menjadi warga Amerika di tahun 1939, dikenal dengan dukungannya terhadap kapitalisme dan penemuan istilah “destruksi kreatif” (creative destruction) dalam teori ekonomi.

Tentang demokrasi, Schumpeter memakai paradigma pasar yang cendrung mencabut kandungan moral dari politik. Baginya, memperjuangkan moralitas dalam politik merupakan upaya yang absurd karena politik pada dirinya berorientasi pada kepentingan yang terukur, bukan pada pencapaian tujuan-tujuan transendental yang berada di wilayah moral (Swedberg, 1993).

Menyelamatkan Masa Depan Indonesia

Sesudah 1998, demokrasi Indonesia ditandai oleh pragmatisasi yang berlebihan dalam praktik kekuasaan. Prinsip kebebasan demokratik memungkinkan setiap kelompok muncul dan memperjuangkan kepentingannya. Mereka yang anti-demokrasi dan bermimpi mendirikan “Negara Agama” pun memakai jargon demokrasi untuk memperjuangkan agenda terselubung.

Dalam banyak kesempatan sudah seringkali disampaikan, radikalisme berjubah agama adalah ancaman yang nyata tetapi tidak mudah untuk diatasi.

Tidak mudah karena di satu sisi, prinsip demokrasi melarang tindakan yang menabrak rule of the law meskipun untuk tujuan penegakan hukum. Di lain sisi, kaum radikal ibarat virus yang membunuh demokrasi dari dalam. Mereka berlindung di balik jargon demokrasi untuk menghancurkan struktur dan kekuatan demokratis.

Deklarasi Damai yang diprakarsai Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah terobosan yang positif untuk menetralisir keadaan politik yang makin panas. Namun, itu masih konsensus elit, kesepakatan di tataran atas. Di arus bawah, dalam interaksi sosial yang nyata, fitnah dan propaganda hitam malah semakin kuat. Narasi-narasi sesat dibangun dan disebarkan

Sementara kontranarasi oleh aparat elektoral tidak bekerja dengan baik dalam membentuk persepsi publik. Perang simbol sudah sengit dan masyarakat dibelah secara kasar dalam dua kategori sederhana: “pendukung” dan “penentang” pemerintah. Jelas ini gejala yang tidak sehat untuk masa depan Indonesia.

Ini saatnya, sebelum nasi jadi bubur, para elit politik kembali menyelamatkan keadaan. Inilah seharusnya menjadi Politisi Beradab Yang Menjunjung Etika Dan Moral.

Politik Pemilu harus dibangun dengan cara yang sehat. Kalau memang tujuan dari proses ini untuk perubahan Indonesia, maka segala cara yang mengancam masa depan Pancasila dan Indonesia harus diakhiri. Biarkan Pemilu menjadi kontestasi gagasan, perang ide, bukan perang simbol dan identitas, apalagi perang fitnah.

 

Dikutip dari: Boni Hargens, Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)

 

Awas Terjebak Bahaya Elektoralisme

Topik: #demokrasi #masyarakat #pemerintah #sosial